|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
IMPLEMENTASI PANCASILA SILA
PERTAMA
|
|
|
|
|
|
Modul ini mengupas tentang Implementasi Pancasila Sila
Pertama dikaitkan dengan Kehidupan Sehari-hari.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program
Studi
|
On line
|
Kode MK
|
Disusun
Oleh
|
|
|
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
10
|
A21325EL
(B-404)
|
H.U. ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.7
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
Mampu
memahami sekaligus menerapkan nilai-nilai Pancasila
|
Diharapkan
dapat menerapkan Pancasila Sila Pertama dalam Kehidupan sehari-hari.
|
IMPLEMENTASI
PANCASILA SILA PERTAMA
Latar Belakang
Ideologi di negara-negara yang baru merdeka dan
sedang berkembang, menurut Prof. W. Howard Wriggins, berfungsi sebagai sesuatu
yang “confirm and deepen the identity of their people” (sesuatu yang
memperkuat dan memperdalam identitas rakyatnya). Namun, ideologi di
negara-negara tersebut, menurutnya, sekedar alat bagi rezim-rezim yang baru
berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Ideologi ialah alat untuk
mendefinisikan aktivitas politik yang berkuasa, atau untuk menjalankan suatu
politik “cultural management”, suatu muslihat manajemen budaya
(Abdulgani, 1979: 20). Oleh sebab itu, kita akan menemukan beberapa
penyimpangan para pelaksana ideologi di dalam kehidupan di setiap negara.
Implikasinya ideologi memiliki fungsi penting untuk penegas identitas bangsa
atau untuk menciptakan rasa kebersamaan sebagai satu bangsa. Namun di sisi
lain,
ideologi rentan disalahgunakan oleh elit penguasa
untuk melanggengkan kekuasaan. Ideologi itu, menurut Oesman dan Alfian (1990:
6), berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat
menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau
bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup bangsa mereka. Ideologi merupakan
kerangka penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Ideologi
bangsa adalah cara pandang suatu bangsa dalam menyelenggarakan negaranya.
Ideologi adalah suatu sistem nilai yang terdiri atas nilai dasar yang menjadi
cita-cita dan nilai instrumental yang berfungsi sebagai metode atau cara
mewujudkan cita-cita tersebut. Menurut Alfian (1990) kekuatan ideologi
tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung di dalam dirinya.
Pertama, adalah dimensi realita, bahwa nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam ideologi itu secara riil berakar dan hidup dalam
masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber
dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
Kedua, dimensi idealisme, bahwa nilai-nilai dasar
ideologi tersebut mengandung idealisme, bukan lambungan angan-angan, yang
memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui perwujudan atau
pengalamannya dalam praktik kehidupan bersama mereka sehari-haridengan berbagai
dimensinya. Ketiga, dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan, bahwa
ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang
pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa
menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam
nilai-nilai dasarnya (Oesman dan Alfian, 1990: 7-8). Selain itu, menurut
Soerjanto Poespowardojo (1990), ideologi mempunyai beberapa fungsi, yaitu
memberikan:
1. Struktur kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan
yang didapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan
kejadian-kejadian dalam alam sekitranya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang
memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi
seseorang untuk melangkah dan betindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan
identitasnya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong
seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuannya.
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk
memahami, menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi
dan norma-norma yang terkandung di dalamnya (Oesman dan Alfian, 1990: 48).
Dalam konteks Indonesia, Perhimpunan Indonesia (PI)
yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta (1926-1931) di Belanda, sejak 1924 mulai
merumuskan konsepsi ideologi politiknya, bahwa tujuan kemerdekaan politik
haruslah didasarkan pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas,
nonkooperasi dan kemandirian (selfhelp) (Latif, 2011: 5). Sekitar tahun
yang sama, Tan Malaka mulai menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia). Dia percaya bahwa paham kedaulatan rakyat memiliki akar
yang kuat dalam tradisi masyarakat Nusantara. Keterlibatannya dengan organisasi
komunis internasional tidak melupakan kepekaannya untuk memperhitungkan
kenyataan-kenyataan nasional dengan kesediaannya untuk menjalin kerjasama
dengan unsurunsur revolusioner lainnya. Dia pernah mengusulkan kepada Komintern
(Komunisme Internasional) agar komunisme di Indonesia harus bekerjasama dengan
Pan- Islamisme karena, menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa
diabaikan begitu saja. Hampir bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai
mengidealisasikan suatu sintesis antara Islam, sosialisme dan demokrasi (Latif,
2011: 6).
Soepomo, dalam siding BPUPKI pada tanggal 31 Mei
1945, memberikan tiga pilihan ideologi, yaitu: (1) paham indvidualisme, (2)
paham kolektivisme dan (3) paham integralistik. Beliau dengan sangat meyakinkan
menolak paham individualisme dan kolektivisme, dan menyarankan paham
integralistik yang dinilai sesuai dengan semangat kekeluargaan yang berkembang
di pedesaan.
Paham integralistik merupakan kerangka konseptual
makro dari apa yang sudah menjiwai rakyat kita di kesatuan masyarakat yang
kecil-kecil itu (Moerdiono dalam Oesman dan Alfian (ed), 1990: 40).
Pancasila sebagai ideologi Indonesia mempunyai
ajaran-ajaran yang memang mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi
lain. Ajaran yang dikandung Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filsuf
Inggris, Bertrand Russel, yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sintesis
kreatif antara Declaration of American Independence (yang
merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang
mereprensentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu, seorang ahli sejarah,
Rutgers, mengatakan, “Dari semua negara-negara Asia Tenggara, Indonesia-lah
yang dalam Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas melakukan latar
belakang psikologis yang sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah. Dalam
filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih
mendalam dari revolusi-revolusi itu (Latif, 2011: 47). Dari pendapat tersebut,
Indonesia pun pernah merasakan berkembangnya nilai-nilai ideologi-ideologi
besar dunia berkembang dalam gerak tubuh pemerintahannya.
A.
SILA PERTAMA: KETUHANAN YANG MAHA ESA
Sila ini
mengupas tentang pentingnya hidup yang religius, semua masyarakat yang
Pancasilais mengaku akan adanya Tuhan YME, dan kita bertekad bahwa atheis
adalah ideologi yang menyesatkan karena kontraproduktif dengan nilai-nilai
Pancasila, melalui sila ini juga kita dituntut untuk menghargai perbedaan agama
dan keyakinan, apapun keyakinan teman, tetangga, guru, murid, mahasiswa, dosen,
karyawan ataupun bos kita tetap kita harus saling mengahargai, karena memilih
keyakinan adalah hak asasi yang diberikan undang-undang serta dilindungi oleh
pancasila.
Sejak 18
agustus 1945 yang lalu kita sepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai Panglima
di atas yang lainnya, kitapun menghormati keputusan bersama untuk ‘tidak lagi’ menggunakan Piagam Jakarta
karena dianggap menguntungkan agama tertentu, tapi bukan itulah yang menjadi
masalah kita harus bangga memiliki Pancila yang religius dan tetap semangat
untuk terus maju dan berkarya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Kita sepakat
untuk menentang segala bentuk ideologi yang bertentangan dengan nilai luhur
Pancasila, termasuk komunisme, karena bertentangan dengan budaya dan
kepribadian masyarakat Indonesia.
Sila Pertama
ini menjamin semua warga Indonesia untuk beribadah sesuai dengan keyakinan
masing-masing, kita semua adalah sahabat, kita semua bersatu apapun agama dan
keyakinan kita hari ini. Katakan dengan penuh bangga Bhineka Tunngal Ika. Bravo!
B. Pancasila dan Liberalisme
Periode 1950-1959 disebut periode pemerintahan
demokrasi liberal. Sistem parlementer dengan banyak partai politik memberi
nuansa baru sebagaimana terjadi di dunia Barat. Ketidakpuasan dan gerakan
kedaerahan cukup kuat pada periode ini, seperti PRRI dan Permesta pada tahun
1957 (Bourchier dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 40). Keadaan tersebut
mengakibatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan bernegara. Pada
1950-1960 partai-partai Islam sebagai hasil pemilihan umum 1955 muncul sebagai
kekuatan Islam, yaitu Masyumi, NU dan PSII, yang sebenarnya merupakan kekuatan
Islam di Parlemen tetapi tidak dimanfaatkan dalam bentuk koalisi. Meski PKI
menduduki empat besar dalam Pemilu 1955, tetapi secara ideologis belum merapat
pada pemerintah. Mengenai Pancasila itu dalam posisi yang tidak ada perubahan,
artinya Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia meski dengan
konstitusi 1950 (Feith dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 40). Indonesia tidak
menerima liberalisme dikarenakan individualisme Barat yang mengutamakan
kebebasan makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut memandang
manusia sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial (Alfian dalam Oesman
dan Alfian, 1990: 201). Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat sekuler,
dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia (Kaelan,
2012: 254). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Kaelan yang menyebutkan
bahwa negara liberal memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Namun dalam negara
liberal diberikan kebebasan untuk tidak percaya terhadap Tuhan atau atheis,
bahkan negara liberal memberi kebebasan warganya untuk menilai dan mengkritik
agama. Berdasarkan pandangan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa sistem
negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau bersifat
sekuler (Kaelan, 2000: 231). Berbeda dengan Pancasila, dengan rumusan Ketuhanan
Yang Maha Esa telah memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia, yaitu
bukan merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara
(Kaelan, 2000: 220). Tentang rahasia negara-negara liberal, Soerjono
Poespowardojo mengatakan bahwa kekuatan liberalism terletak dalam menampilkan
individu yang memiliki martabat transenden dan bermodalkan kebendaan pribadi.
Sedangkan kelemahannya terletak dalam pengingkaran terhadap dimensi sosialnya
sehingga tersingkir tanggung jawab pribadi terhadap kepentingan umum (Soeprapto
dalam Nurdin, 2002: 40-41). Karena alasan-alasan seperti itulah antara lain
kenapa Indonesia tidak cocok menggunakan ideologi liberalisme.
C. Pancasila dan Komunisme
Dalam periode 1945-1950 kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara sudah kuat. Namun, ada berbagai faktor internal dan eksternal yang
memberi nuansa tersendiri terhadap kedudukan Pancasila. Faktor eksternal mendorong
bangsa Indonesia untuk menfokuskan diriterhadap agresi asing apakah pihak
Sekutu atau NICA yang merasa masih memiliki Indonesia sebagai jajahannya. Di
pihak lain, terjadi pergumulan yang secara internal sudah merongrong Pancasila
sebagai dasar negara, untuk diarahkan ke ideologi tertentu, yaitu gerakan
DI/TII yang akan mengubah Republik Indonesia menjadi negara Islam dan
Pemberontakan PKI yang ingin mengubah RI menjadi negara komunis (Marwati Djoned
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1982/83 kemudian dikutip oleh Pranoto
dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 39).
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945, berarti kembali ke
Pancasila. Pada suatu kesempatan, Dr. Johanes Leimena pernah mengatakan, “Salah
satu factor lain yang selalu dipandang sebagai sumber krisis yang paling
berbahaya adalah komunisme. Dalam situasi di mana kemiskinan memegang peranan
dan dalam hal satu golongan saja menikmati kekayaan alam, komunisme dapat
diterima dan mendapat tempat yang subur di tengahtengah masyarakat”. Oleh
karena itu, menurut Dr. Johanes Leimena, harus ada usaha-usaha yang lebih keras
untuk meningkatkan kemakmuran di daerah pedesaan. Cara lain untuk memberantas
komunisme ialah mempelajari dengan seksama ajaran-ajaran komunisme itu.
Mempelajari ajaran itu agar tidak mudah dijebak oleh rayuan-rayuan komunisme.
Bagi orang Kristen, ajaran komunisme bias menyesatkan karena bertentangan
dengan ajaran Kristus dan falsafah Pancasila (Pieris, 2004: 212). Komunisme
tidak pernah diterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan
Negara komunisme lazimnya bersifat atheis yang menolak agama dalam suatu
Negara. Sedangkan Indonesia sebagai Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan merupakan proses elektis inkorporatif.
Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas
dan nampaknya sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia (Kelan, 2012:
254-255).
Selain itu, ideologi komunis juga tidak menghormati
manusia sebagai makhluk individu. Prestasi dan hak milik individu tidak diakui.
Ideologi komunis bersifat totaliter, karena tidak membuka pintu sedikit pun
terhadap alam pikiran lain. Ideologi semacam ini bersifat otoriter dengan
menuntut penganutnya bersikap dogmatis, suatu ideology yang bersifat tertutup.
Berbeda dengan Pancasila yang bersifat terbuka, Pancasila memberikan
kemungkinan dan bahkan menuntut sikap kritis dan rasional. Pancasila bersifat
dinamis, yang mampu memberikan jawaban atas tantangan yang berbeda-beda dalam
zaman sekarang (Poespowardojo, 1989: 203-204). Pelarangan penyebaran ideologi
komunis ditegaskan dalam Tap MPR No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI,
pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk
menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme dan
leninisme yang diperkuat dengan Tap MPR No. IX/MPR/1978 dan Tap MPR No
VIII/MPR/1983.
D. Pancasila dan Agama
Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat
hubungan negara dan agama merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui The
Founding Fathers Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri
negara yang tertuang dalam Pancasila merupakan karya khas yang secara
antropologis merupakan local genius bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam
Kaelan, 2012). Begitu pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila, maka
Pancasila pun mengisyaratkan bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik semua
orang dan berbagai agama. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang
Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen,
Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut Notonegoro (dalam Kaelan, 2012: 47), asal mula
Pancasila secara langsung salah satunya asal mula bahan (Kausa Materialis)
yang menyatakan bahwa “bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai
Panasila, …yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai
adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia”. Sejak zaman purbakala hingga pintu
gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati
ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme
dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh
Kristen (Latif, 2011: 57). Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular dijumpai
kalimat yang kemudian dikenal Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat
tersebut secara lengkap berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma
Mangrua, artinya walaupun berbeda, satu jua adanya, sebab tidak ada agama
yang mempunyai tujuan yang berbeda (Hartono, 1992: 5).
Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan
Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan ruang
publik hampa Tuhan. Sejak decade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan
sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas cultural dari ragam
etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan (Latif, 2011:
67). Secara lengkap pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh founding
fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945,
ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang
menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut
petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut
kitabkitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni
dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang
ber-Tuhan” (Zoelva, 2012). Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama
pengakuan akan eksistensi agama-agama di Indonesia yang, menurut Ir. Soekarno,
“mendapat tempat yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap agama, Ir.
Soekarno menegaskan bahwa “negara kita akan ber- Tuhan”. Bahkan dalam bagian
akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, “Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudarasaudara menyetujui bahwa Indonesia berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).
Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam.
Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau
sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat,
sebab Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran
tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al,
dalam pengertian
bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan
perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima
oleh agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari -
atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam
yang berbicara mendahului Ir. Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan
dengan keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang terkenal ini menerangkan
bahwa dalam Badan Penyelidik itu Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan
membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran para anggota yang
berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan
sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting. Komentar Roem,
“Pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan
sebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna
bahwa manusia Indonesia harus mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bias
mempersekutukannya. Dalam bahasa formal yang telah disepakati bersama sebagai
perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang
Maha Esa”. Di mana pengertian arti kata Tuhan adalah sesuatu yang kita taati
perintahnya dan kehendaknya.
Prinsip dasar pengabdian adalah tidak boleh punya dua
tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi
misi utama tugas para pengemban risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada
satu Tuan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Kitab Ulangan 6:4-5, Matius 6:24, Lukas
16: 13, Quran surat: Al Mu’minun [23]: 23 dan 32) (Mulyantoro, 2012).
Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan
agama dari negara didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat
karena Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan
untuk memisahkan agama dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak
memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa
Pancasila tidak mengakui satu agama pun sebagai agama yang diistimewakan
kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya terhadap masyarakat yang plural
dan egaliter. Namun, dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi 6
agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu)
secara resmi, negara Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa
dimiliki oleh warga negara. Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut
agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini
juga memasukkan kalangan sekuler yang menganut agama tersebut, tapi tidak
memasukkan kalangan sekuler yang tidak menganutnya. Seperti yang telah ditelaah
Madjid, meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang mengatur masyarakat
di tingkat nasional maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia bisa dan
bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama
(An-Na’im, 2007: 439).
Gagasan asas tunggal menimbulkan pro dan kontra
selama tiga tahun diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang mengharuskan mendaftar ulang bagi semua ORMAS
dan sekaligus mengharuskan semua ORMAS menerima asas tunggal yang diberi batas
akhir sampai tanggal 17 Juli 1987. Golongan yang kontra bukan menolak Pancasila
dan UUD 1945, melainkan ada kekhawatiran bahwa dengan menghapuskan asas
“Islam”, Pancasila akan menjadi“agama baru” (Moesa, 2007: 123-124). Dalam
perkembangannya, kyai yang tergabung dalam organisasi NU yang pertama kali
menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. KH. As’ad Syamsul Arifin menegaskan
bahwa sebagian besar kyai dan umat Islam Indonesia berpendapat bahwa menerima
Pancasila hukumnya wajib (Moesa, 2007: 124) .
Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila,
keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak
bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah
satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai
Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi
ini berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang
dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010: 79).
Pancasila menjamin umat beragama dalam menjalankan
ibadahnya. Dalam kalimat Menteri Agama (1983-1993), H. Munawir Sjadzali
menyatakan, “Kata-kata ‘negara menjamin’ tidak dapat diartikan sekuler karena
apabila demikian, negara atau pemerintah harus hands off dari segala
pengaturan kebutuhan hukum bagi para pemeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Di negara sekuler Pemerintah tidak akan mendirikan tempat-tempat
ibadah (Ahmad, 1996: 9-10).
Agama-agama dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua
golongan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara
terus-menerus dan bersamasama meletakkan landasan moral, etika dan spiritual
yang kokoh bagi pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila (Soetarman,
1996: 64). Dalam konteks pelaksanaan mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara
formal sudah tidak berlaku tapi spirit hubungan agama dan pembangunan masih
sesuai), maka agama-agama harus mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka
menghadapi masalah-masalah yang dihadapi bersama (Soetarman, 1996: 65).
Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring
sejalan dan saling mendukung. Agama dapat mendorong aplikasi nilai-nilai
Pancasila, begitu pula Pancasila memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya
terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama
(Eksan, 2000). Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak
relevan lagi untuk melihat apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila
dari agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran
agama-agama juga tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agamaagama
harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang
akan menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa
terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990: 167-168).
Moral Pancasila bersifat rasional, objektif dan
universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila
juga dapat disebut otonom karena nilainilainya tidak mendapat pengaruh dari
luar hakikat manusia Indonesia, dan dapat dipertanggungjawabkan secara
filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya bantuan dari nilai-nilai agama,
adat, dan budaya, karena secara de facto nilai-nilai Pancasila berasal
dari agama-agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja nilai-nilai yang
hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi memberikan
bantuan dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177). Sejalan dengan pendapat tersebut,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam Sambutan pada
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2005.
Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa
yang menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing.
Karena itu, setiap umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu
sejalan dengan nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita
akan menempatkan falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan
dengan sedalam-dalamnya bahwa lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan
ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian,
kita dapat menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai
falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan (ed.),2010: 172).
Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh
kekuatan bangsa, sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk mempertentangkan
nilai-nilai Pancasila dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini
memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan Maarif,
sebuah pergulatan sengit yang telah menguras energi kita sebagai bangsa.
Sebagai buah dari pergumulan panjang itu, sekarang secara teoretik dari kelima
nilai Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap berlawanan dengan agama. Sila
pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci oleh sila kelima “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” dari sudut pemahaman saya sebagai
seorang Muslim, sejalan dan senyawa dengan doktrin tauhid yang menuntut
tegaknya keadilan di muka bumi (Maarif, 2012).
Kaelan (dalam Wahyudi (ed.), 2009: 243-246) memetakan
persoalan yang menyangkut hubungan agama dengan Pancasila, yang dikelompokkan
dalam tiga tahap, yaitu:
Pertama, terjadi ketika kaum “nasionalis” mengajukan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia. Para
tokoh pendiri negara dari kelompok nasionalis Islam dan nasionalis terlibat
perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi Negara Indonesia yang akan
didirikan kemudian.
Kedua, respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala
pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 untuk disahkan. Dalam
hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun
kemudianmenerimanya. Ketiga, ketika tahun 1985 pemerintah mengajukan Pancasila
sebagai asas tunggal bagi semua organsiasi politik dan kemasyarakatan di
Indonesia. Kebijakan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam bahkan
terdapat beberapa ormas yang dibekukan karena asas tersebut. Namun untuk
menengahi permasalahan tersebut, Abdurrahman Wahid (Oesman dan Alfian (ed),
1990: 167-168) secara gamblang menyatakan bahwa “agama tetap menjadi referensi
umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila
sebagai “polisi lalu lintas” yang menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan
raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali”. Sejalan dengan pendapat tersebut,
tokoh Masyumi, Muhammad Roem, berpendapat bahwa kita sepakat tentang dasar
negara mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada
Tuhan menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita
dapat mendirikan Negara yang kuat sentosa karena esensi dari agama, ialah hidup
berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih saying terhadap sesama makhluk
(Roem dan Salim, 1977: 116).
Bilamana dirinci, maka hubungan negara dengan agama
menurut NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012:
215-216):
a. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber-
Ketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk
memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing.
c. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme
karena hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan
agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
e. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena
ketakwaan itu bukan hasil peksaan bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam
menjalankan agama dalam negara.
g. Segala aspek dalam melaksanakan dan
menyelenggatakan negara harus sesuai dengan nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa
terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral
para penyelenggara negara.
h. Negara pda hakikatnya adalah merupakan
“…berkatrahmat Allah yang Maha Esa”.
Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi
(ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini, secara filosofis merupakan nilai
fundamental yang meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai Negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar kerohanian
bangsa dan menjadi penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam
rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan
harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara
Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama di Indonesia.
Rodee dkk (1995: 54) menyatakan bahwa homogenitas
kebudayaan adalah suatu kekuatan luar biasa yang bekerja atas nama identitas
nasional. Pada paparan selanjutnya, secara implisit Rodee menyatakan bahwa
identitas nasional akan berpengaruh terhadap kestabilan negara. Realitas negara
dan bangsa Indonesia teramat heterogen secara budaya, bahkan paling heterogen
di dunia, lebih dari itu merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi
tersebut mensyaratkan hadirnya ideology negara yang dihayati dan diamalkan oleh
seluruh komponen bangsa.
Implikasinya, fungsi ideologi negara bagi bangsa
Indonesia amat penting dibandingkan dengan pentingnyaideologi bagi
negara-negara lain terutama yang bangsanya homogen. Bagi bangsa Indonesia,
ideologi sebagai identitas nasional merupakan prasyarat kestabilan negara,
karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen.
Hadirnya ideologi Pancasila tersebut, paling tidak
akan berfungsi untuk: 1) menggambarkan cita-cita bangsa, kearah mana bangsa ini
akan bergerak; 2) menciptakan rasa kebersamaan dalam keluarga besar bangsa
Indonesia sesuai dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika; dan 3) menggairahkan
seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara Republik
Indonesia. Ada ha-hal yang amat penting dalam melaksanakan ideologi negara
Pancasila, agar ideologi tidak disalahgunakan terutama dijadikan alat untuk
memperoleh atau mempertahankan kekuasaan oleh elit politik. Maka untuk itu,
bangsa Indonesia harus melaksanakan nilai-nilai instrumental ideologi Pancasila
yaitu taat asas terhadap nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada pada
Pembukaan UUD 1945 dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
DR. H. SYAHRIAL,
MA., Pendidikan Pancasila Bagi Perguruan Tinggi, Jakarta: GI, 2013.