|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
PANCASILA SEBAGAI DASAR
PENGEMBANGAN ILMU
|
|
|
|
|
|
Modul ini mengupas tentang Pancasila Sebagai Dasar
Pengembangan ilmu
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program
Studi
|
TM
|
Kode MK
|
Disusun
Oleh
|
|
|
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
04
|
A21325EL
(B-404)
|
H.U. ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.7
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
Mampu
memahami sekaligus menerapkan nilai-nilai Pancasila
|
Diharapkan
dapat menerapkan Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu
|
PANCASILA
SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN ILMU
Latar Belakang
Melalui teori relativitas
Einstein paradigm kebenaran ilmu sekarang sudah berubah dari paradigm lama yang
dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun teori absolut dalam
kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi,
bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka
objektif, rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam
perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap
koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif
pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologis
epistemologis, maupun ontologis. Karena
setiap pengembangan ilmu paling tidak validitas (validity) dan
reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan
kaidah-kaidah keilmuan (context of justification) maupun
berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context
of discovery).
Kekuatan bangunan ilmu terletak
pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi
sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite/saling
mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
1. Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika
tentang keberadaan (eksistensi).
a) Aspek kuantitas : Apakah
yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme, pluralisme )
b) Aspek kualitas (mutu, sifat)
: bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme, teleologisme,
vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat
memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu
terciptanya komunikasi interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan
masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antar ilmu.
Misal masalah krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi
saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau
oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.
2. Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut problematika
teentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria
kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi.
Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita : (a) sarana
legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu (b) memberi
kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu (c) mengembangkan ketrampilan
proses (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
3. Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan
problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius) dalam setiap penemuan,
penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar
dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan
ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan ilmu secara
imperative mengacu ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat
integratif dan prerequisite. Berikut ilustrasinya dalam bagan 1.
Landasan Pengembangan
Ilmu Pengetahuan
1. Prinsip-prinsip berpikir
ilmiah
1) Objektif: Cara memandang
masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif (misal : perasaan,
keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
2) Rasional: Menggunakan akal
sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan
unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3) Logis: Berfikir dengan
menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak mengandung unsur
pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu
sebaliknya yang rasional pasti logis.
4) Metodologis: Selalu
menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan
bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
5) Sistematis: Setiap cara
berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dan
saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.
2. Masalah nilai dalam
IPTEK
a. Keserbamajemukan ilmu
pengetahuan dan persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar
yang dihadapi manusia dewasa ini adalah keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu
pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak bisa mengatakan inilah satu-satunya
ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi problem manusia dewasa ini. Berbeda
dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih menunjukkan keekaannya daripada
kebhinekaannya. Seperti pada awal perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam
kesatuan filsafat.
Proses perkembangan ini menarik
perhatian karena justru bertentangan dengan inspirasi tempat pengetahuan itu
sendiri, yaitu keinginan manusia untuk mengadakan kesatuan di dalam
keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini. Karena yakin akan
kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara metodis dan sistematis
manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami hubungan antara
gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan adanya
keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam perkembangannya ilmu pengetahuan
berkembang ke arah keserbamajemukan ilmu.
a) Mengapa timbul
spesialisasi?
Mengapa spesialisasi ilmu
semakin meluas? Misalnya dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya
spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu dalam perjalanannya selalu mengembangkan
macam metode, objek dan tujuan. Perbedaan metode dan pengembangannya itu perlu
demi
kemajuan tiap-tiap ilmu. Tidak
mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau
psikologi mau maju dan berkembang harus mengembangkan metode, objek dan
tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia umum
keduanya memakai ”hukum” yang dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana
biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya organisme-organisme yang tidak
dituntut oleh seorang ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju
dan mendalam, meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai
dasar-dasar yang sama.
Spesialisasi ilmu memang harus
ada di dalam satu cabang ilmu, namun kesatuan dasar azas-azas universal harus
diingat dalam rangka spesialisasi. Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak
bagi ilmuwan sendiri dan masyarakat. Ada kalanya ilmu itu diterapkan dapat
memberi manfaat bagi manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan manusia.
Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan beban manusia
untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak
mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan memahami semua ilmu pengetahuan
yang ada (Sutardjo, 1982).
b) Persoalan yang timbul
dalam spesialisasi
Spesialisasi mengandung segi-segi
positif, namun juga dapat menimbulkan segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat
lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian dan pengembangan ilmunya. Segi
negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa terasing dari pengetahuan
lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif membawa dampak ilmuwan tidak
mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain. Seorang spesialis bisa berada dalam
bahaya mencabut ilmu pengetahuannya dari rumpun keilmuannya atau bahkan dari
peta ilmu, kemudian menganggap ilmunya otonom dan paling lengkap. Para
spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga tidak tahu lagi dari mana asal
usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi manusia dan ilmu-ilmu lainnya,
dan sumbangan apa yang perlu diperoleh dari ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan
kesempurnaan ilmu spesialis yang dipelajari atau dikuasai.
Bila keterasingan yang timbul
akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu pengetahuan tidak sangat berbahaya.
Namun bila hal itu terjadi pada manusianya, maka akibatnya bisa mengerikan
kalau manusia sampai terasing dari sesamanya dan bahkan dari dirinya karena
terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam praktikpraktik ilmu spesialis
kurang memberikan orientasi yang luas terhadap kenyataan dunia ini, apakah
dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi dll.
Persoalan tersebut bukan
berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan merelativisir jika ada kerjasama
ilmuilmu pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya. Hal ini tidak akan
mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi akan memudahkan
penempatan tiaptiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan manusia.
Keharusan kerjasama ilmu sesuai
dengan sifat social manusia dan segala kegiatannya. Kerjasama seperti itu akan
membuat para ilmuwan memiliki cakrawala pandang yang luas dalam menganalisis
dan melihat sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan sebelum mengambil keputusan
akhir apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia sendiri.
b. Dimensi moral dalam
pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan
Tema ini membawa kita ke arah
pemikiran: (a) apakah ada kaitan antara moral atau etika dengan ilmu
pengetahuan, (b) saat mana dalam pengembangan ilmu memerlukan pertimbangan
moral/etik? Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu dan
wujudnya yang paling nyata pada jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan
yang muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu
pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa
menyapa” dengan etika? Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
moral?
Untuk menjelaskan permasalahan
tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh.
Pertama, kita melihat
kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan
manusia.
Kedua,membicarakan dimensi etis
serta kriteria etis yang diambil.
Ketiga, berusaha menyoroti
beberapa pertimbangan sebagai semacam usulan jalan keluar dari permasalahan
yang muncul.
a) Permasalahan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kalau perkembangan ilmu
pengetahuan sungguhsungguh menepati janji awalnya 200 tahun yang lalu, pasti
orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan.
Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana pembebasan manusia dari
keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900-an dengan menyediakan
ketrampilan ”know how” yang memungkinkan manusia dapat mencari nafkah
sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu
pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu
sendiri (secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad
ini. Namun dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu
menghadapi masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia.
Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem
mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh
kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri. Kompleksitas
permasalahan dalam pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran
serius, terutama persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi dan
akibatakibatnyabagi manusia. Mengapa orang kemudian berbicara soal etika dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi?
b) Akibat teknologi pada
perilaku manusia
Akibat teknologi pada perilaku
manusia muncul dalam fenomen penerapan kontrol tingkah laku (behavior
control). Behaviour control merupakan kemampuan untuk mengatur orang
melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si pengatur (the
ability to get some one to do one’s bidding). Pengembangan teknologi yang
mengatur perilaku manusia ini mengakibatkan munculnya masalahmasalah etis
seperti berikut.
(1) Penemuan teknologi yang
mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan perilaku seseorang diubah dengan
operasi dan manipulasi syaraf otak melalui ”psychosurgery’s infuse” kimiawi,
obat bius tertentu. Electrical stimulation mampu merangsang secara baru bagian-bagian
penting, sehingga kelakuan bias diatur dan disusun. Kalau begitu kebebasan
bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang kemusnahan.
(2) Makin dipacunya
penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan manusia, memungkinkan
adanya lubang manipulasi, entah melalui iklan atau media lain.
(3) Pemahaman “njlimet” tingkah
laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk menghirup kebutuhan baru sehingga
bisa mendapat untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media (radio, TV)
untuk mengatur kelakuan manusia.
(4) Behaviour
control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang dikontrol oleh
teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik muncul justru karena si
pengatur memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol
dan diarahkan menurut kehendak si pengontrol.
(5) Akibat teknologi pada
eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher. Bagi Schumacher eksistensi
sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia justru karena ia bekerja.
Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial manusia,
ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan
manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak
mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti
dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T.
Yacob, 1993).
c. Beberapa pokok nilai
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Ada empat hal pokok agar ilmu
pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara konkrit, unsur-unsur mana yang
tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.
a) Rumusan hak azasi merupakan
sarana hukum untuk menjamin penghormatan terhadap manusia. Individu individu
perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan.
b) Keadilan dalam bidang
sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak. Perkembangan teknologi
sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik. Jika kita
ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia
mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam bidang politik,
ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu kesempatan
yang sama menggunakan hak-haknya.
c) Soal lingkungan hidup. Tidak
ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi sumber-sumber alam dan
manusiawi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada seluruh masyarakat. Ekologi
mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan benda yang
lain di alam ini.
d) Nilai manusia sebagai
pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia dinilai dari tempatnya
sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor tertentu. Akibatnya
manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau
hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai
pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup
sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan teknologi mau
manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh
mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi ( T.
Yacob, 1993).
G. Pancasila sebagai Dasar
Nilai Dalam Strategi Pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi
Karena pengembangan ilmu dan
teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan manusia maka perlu
mempertimbangan strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik dan benar agar
pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan
memartabatkan manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah
strategi secara imperatif kita meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian dasar
nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan
ilmu. Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan
sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti,
atau ”an unfinished journey”.
Ilmu tampil dalam fenomenanya
sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai
Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran.
Dimensi aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu
adalah sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut
memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu
situasi kondusif baik struktural maupun kultural. Ilustrasinya dapat dilihat
pada bagan 2 berikut ini.
E. Strategi Pengembangan
IPTEK Pancasila Sebagai Dasar Nilai
Peran nilai-nilai dalam setiap
sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.
1) Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan antara yang rasional
dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam alam
sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
2) Sila Kemanusiaan yang adil
dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan
pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok,
lapisan tertentu.
3) Sila Persatuan Indonesia:
mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra
sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem
sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak
mengganggu integrasi.
4) Sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri
dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus
demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan,
penelitian sampai penerapan massal.
5) Sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan
distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga
menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena
kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas
merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.
Pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai Pancasila.
Sebaliknya Pancasila dituntut
terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan kesatuan dari perkembangan ilmu yang
menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran Pancasila sebagai paradigma
pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaidah
kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak diri seseorang
pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata berpegang pada
kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai
budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.
pptnya mana?....
BalasHapusTerimakasih sangat membantu sekali akan tetapi fontnya jangan terlalu kecil:)
BalasHapusTerima Kasih non
BalasHapuskak cari referensinya dimana
BalasHapusini sama kaya modul kuliah pancasilaku from "DIREKTORAT PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN
BalasHapusDIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
TAHUN : 2013"