MODUL PERKULIAHAN
|
|
PANCASILA
SEBAGAI SISTEM ETIKA
|
|
Modul ini mengupas tentang Pancasila sebagai Sistem
Etika.
|
|
Fakultas
|
Program Studi
|
TM
|
Kode MK
|
Disusun Oleh
|
||
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
07
|
A21325EL (B-404)
|
H.U. ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.7
|
Abstract
|
Kompetensi
|
Mampu
memahami sekaligus menrapkan nilai-nilai Pancasila
|
Diharapkan
dapat menerapkan Pancasila sebagai sistem etika.
|
PANCASILA
SEBAGAI SISTEM ETIKA
Latar Belakang
Pancasila memiliki
bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara,
pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila
juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat
dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat
dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai
tersebut bersifat universal, dapat ditemukan di manapun dan kapanpun. Namun,
sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilainilai tersebut memberikan ciri
khusus pada ke-Indonesia-an karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi
dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers mendapat pendidikan dari
Barat, namun causa materialis Pancasila digali dan bersumber dari agama,
adat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila yang
pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya
negara Indonesia, berkembang menjadi consensus moral yang digunakan sebagai
sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks
hubungan berbangsa dan bernegara.
A. Pengertian Etika
Dalam percakapan sehari-hari
dan dalam berbagai tulisan sangat sering seseorang menyebut istilah etika,
meskipun sangat sering pula seseorang menggunakannya secara tidak tepat.
Sebagai contoh penggunaan istilah ‘etika 1 Disampaikan dalam Seminar “Kurikulum/Modul
Pembelajaran Pendidikan Jarak Jauh Pancasila”, yang diselenggarakan atas
kerjasama UGM dan DIKTI di Hotel Novotel Yogyakarta tanggal 28 November 2012.
pergaulan, etika
jurnalistik, etika kedokteran’ dan lain-lain, padahal yang dimaksud adalah
etiket, bukan etika. Etika harus dibedakan dengan etiket. Etika adalah kajian
ilmiah terkait dengan etiket atau moralitas. Dengan demikian, maka istilah yang
tepat adalah etiket pergaulan, etiket jurnalistik, etiket kedokteran, dan
lain-lain. Etiket secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan
kesusilaan/sopan santun.
Secara etimologis (asal
kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak
kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa
Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara
hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian
sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas
digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk
mengkaji sistem nilai yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan
kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti
perangai, tingkah laku atau tabiat (Zakky, 2008: 20.)
B. Aliran-aliran Besar Etika
Dalam kajian etika dikenal
tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap
aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu
perbuatan dikatakan baik atau buruk.
1. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang
bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai
atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari
tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang
melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan
teori ini adalah Immanuel Kant
(1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk
menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan
konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai
manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap
diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara
kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk,
dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus
dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak
melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus
dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan
tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah
memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika
deontology menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan
kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan
yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika
deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas.
Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh
kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari
oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan
itu, dan tindakan yang baik adalah
didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
2. Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi
berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan
dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi
membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada
situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang
bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi
bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus
melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang
terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi
kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm
bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih focus pada satu tujuan
yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit
dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika
teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban
mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian
muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah baik menurut
pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
a) Egoisme etis memandang
bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya.
Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan
dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
b) Utilitarianisme menilai
bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap
banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang
besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam
menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana
yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana
yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya
besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika
utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena
pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap
tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat
bagi banyak orang atau tidak.
Kalau tindakan itu hanya
akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan maka harus dicari
alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat
realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada
kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try
to produce maximum pleasure and minimum pain, counting their own pleasure and
pain as no more or less important than anyone else’s (Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini
menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak orang-lah yang
lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan
itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga
memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan
etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan
untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu
dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan
terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis,
masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitasmaterialistis,
kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih sayang, nama
baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang
banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan masalah ekonomi,
maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti nasionalisme,
martabat bangsa akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor asing
aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa
negara pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem besar adalah
ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang
dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek, tidak
melihat akibat jangka panjang. Padahal, missal dalam persoalan lingkungan,
kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang
akan datang.
(5) Karena etika
utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada
orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama
kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme
mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang
besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih
banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu
etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu utilitarianisme
aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
Pertama, setiap
kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma
atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus
ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar.
Kedua, kemanfaatan
harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik
seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dsb.
Ketiga, terhadap
masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai
untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
3. Etika Keutamaan
Etika ini tidak
mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian
moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan
karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan
yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun
dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh
besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang didalamnya
mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya.
Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka
tokohtokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan
menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan
benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan
dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh,
tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan
ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.
Selanjutnya akan dibahas tentang etika Pancasila sebagai suatu aliran etika
alternatif, baik dalam konteks keindonesiaan maupun keilmuan secara lebih luas.
C. Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak
memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar etika
yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter
moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika
Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada
nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila
tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan
mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun
merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan,
maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila
juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.
Etika Pancasila berbicara
tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Nilai yang
pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bias dikatakan sebagai
nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh
nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hokum Tuhan. Pandangan
demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar
nilai, kaidah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara
manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk. Misalnya pelanggaran akan
kaidah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antarsesama akan
menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah Tuhan untuk
melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Nilai yang kedua adalah
kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan
dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin,
jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk
Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan
manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak
hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai yang ketiga adalah
persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan
dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk,
demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang
seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila
perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan
etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik. Nilai yang keempat adalah
kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang
sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan
tertinggi.
Atas nama mencari kebaikan,
pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang
sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam
Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun
memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif
dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas
pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila
disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas
dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah
keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut
lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada
sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg
(1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan
masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan
sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem etika yang
sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga
realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa
keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan
nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus
diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro
merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang
melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi
setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai
ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai
kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan,
penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan menghasilkan nilai
cinta tanah air, pengorbanan dll. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai
menghargai perbedaan, kesetaraan, dll. Nilai keadilan menghasilkan nilai
kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar