|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
Pancasila
(Dalam Kajian Sejarah)
|
|
|
|
Modul ini mengupas tentang Sejarah Lahirnya Pancasila sebagai
Ideologi Bangsa.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program Studi
|
On Line
|
Kode MK
|
Disusun Oleh
|
|
|
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
01
|
A21431EL (E-301)
|
Tim
Dosen Pendidikan Pancasila
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
|
|
Modul
ini akan mengelaborasi tentang Landasan Pendidikan Pancasila
|
Diharapkan mahasiswa
mengerti tentang Pancasila seutuhnya serta problematikanya
|
PANCASILA:
DALAM KAJIAN SEJARAH
Latar Belakang
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Soekarno pernah mengatakan
“jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut dapat
dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti
diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang
mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “sejarah
memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah merupakan guru
kehidupan”. Sejarah memperlihatkan
dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika
mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita itu menjadi kabur dan
usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita
ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh
cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan
mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya
sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and
deepen” identitas Bangsa Indonesia
sepanjang masa. Sejak Pancasila digali dan
dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan
membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang “terbius” selama
kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
A.
Nilai-Nilai Pancasila dalam sejarah Perjuangan Bangsa
Menurut sejarah pada
kira-kira abad VII-XII, bangsa Indonesia telah mendirikan kerajaan Sriwijaya di
Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula kerajaan
Majapahit di Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia masa itu
telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa yang mempunyai negara. Kedua kerajaan itu telah merupakan
negara-negara berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi
seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan
itu telah mengalami kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Menurut Mr. Muhammad Yamin
berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa
Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia
terbentuk melalui tiga tahap yaitu: Pertama,
zaman Sriwijaya di bawah Wangsa
Syailendra (600-1400). Kedua, negara
kebangsaan zaman Majapahit
(1293-1525). Kedua tahap negara kebangsaan tersebut adalah negara kebangsaan
lama. Ketiga, negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945
(Sekretariat Negara.RI. 1995:11).
Masa Kerajaan
Sriwijaya
Pada
abad ke VII berdirilah kerajaan
Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa Syailendra di Sumatera. Kerajaan yang
berbahasa Melayu Kuno dan huruf pallawa adalah kerajaan maritime yang mengandalkan jalur perhubungan laut.
Kekuasaan Sriwijaya menguasai selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka (775).
Sistem perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai
raja membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan rakyat
sehingga rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Dalam sistem
pemerintahan sudah terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan,
rohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan
patung-patung suci sehingga saat itu kerajaan dapat menjalankan sistem
negaranya dengan nilai-nilai Ketuhanan (Kaelan,1999:27)
Pada zaman Sriwijaya telah didirikan Universitas
Agama Budha yang sudah dikenal di Asia. Pelajar dari Universitas ini dapat
melanjutkan ke India, banyak guru-guru
tamu yang mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita
kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan
Sriwijaya sebagai terebut dalam perkataan “marvuat
vannua Criwijaya ssiddhayatra subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil
dan makmur).(1999:27).
Unsur-unsur yang terdapat di
dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an,
Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan
keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa
Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum
dirumuskan secara kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya
unsur-unsur tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit,
Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur (Dardji Darmodihardjo.1974:22-23).
Pada hakekatnya
nilai-nilai budaya bangsa semasa
kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu:
1)
Nilai Sila
pertama, terwujud dengan adanya umat
agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada
kerajaan Sriwijaya terdapat pusat
kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2)
Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya
dengan India (Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India.
Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3)
Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya
telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan
Nusantara.
4)
Nilai Sila Keempat,
Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi
(Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
5)
Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan
dan perdagangan, sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.
2. Masa Kerajaan Majapahit
Sebelum
kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan
Kalingga (abad ke VII), Sanjaya (abad
ke VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah
dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan candi
Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Di
Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX), Dharmawangsa
(abad ke X), Airlangga (abad ke XI).
Agama yang diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa
telah hidup berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin
dalam kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga
telah mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan
Champa. Sebagai nilai-nilai sila keempat telah terwujud yaitu dengan
dianggatnya Airlangga sebagai raja melalui musyawarah antara pengikut Airlangga
dengan rakyat dan kaum Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud
pada saat raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi
kesejahteraan pertanian rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29).
Pada
abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari
di Kediri Jawa Timur yang ada hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit
(1293) Zaman Keemasan Majapahit pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah
Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari semananjung Melayu sampai ke Irian Jaya.
Pengamalan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah
terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup
berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365)
yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang
buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang
berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak
ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas
beragama saat itu. Seloka toleransi ini
juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit
yang telah memeluk agama Islam.
Sila kemanusiaan telah terwujud,
yaitu hubungan raja Hayam Wuruk
dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja.
Menagadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka
Satata”.
Sebagai
perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan
Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah
Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331
yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan
palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun,
Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sundda, Palembang dan Tumasik telah
dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai
nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim pemerintahan
kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan
kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat
kerajaan seperti Rakryan I Hino, I
Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan
dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat
bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai
wujud dari berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan
uraian diatas dapat kita fahami bahwa
zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Perjuangan
Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan
Kesuburan Indonesia dengan hasil
buminya yang melimpah, terutama rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh
negara-negara di luar Indonesia, menyebabkan bangsa Asing masuk ke Indonesia. Bangsa Barat yang membutuhkan
rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris
dan Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan keruntuhan Majapahit sebagai
akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai-nilai nasionalisme
sudah ditinggalkan, walaupun abad ke XVI
agama Islam berkembang dengan pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam,
seperti Samudra Pasai dan Demak,
nampaknya tidak mampu membendung tekanan Barat memasuki Indonesia.
Bangsa-bangsa
Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi Indonesia ini. Maka sejak
itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia dengan penjajahan Barat, khususnya Belanda. Masa pejajahan Belanda itu dijadikan tonggak sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya, sebab pada zaman
penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia pada zaman
Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan
negara hilang, persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, wilayah
dinjak-injak oleh penjajah.
Perjuangan Sebelum
Abad ke XX
Penjajahan
Barat yang memusnahkan kemakmuran bangsa Indonesia itu tidak dibiarkan begitu
saja oleh segenab Bangsa Indonesia. Sejak semula imprialis itu menjejakkan
kakinya di Indonesia, di mana-mana bangsa Indonesia melawannya dengan semangat
patriotik melalui perlawanan secara
fisik.
Kita mengenal nama-nama
Pahlawan Bangsa yang berjuang dengan gigih melawan penjajah. Pada abad ke XVII
dan XVIII perlawanan terhadap penjajah digerakkan oleh pahlawan Sultan Agung (Mataram 1645), Sultan Ageng Tirta Yasa dan Ki Tapa (Banten 1650), Hasanuddin Makasar 1660), Iskandar Muda Aceh 1635) Untung Surapati dan Trunojoyo (Jawa Timur 1670), Ibnu Iskandar (Minangkabau 1680) dan
lain-lain.
Pada permulaan abad ke XIX
penjajah Belanda mengubah sistem kolonialismenya yang semula berbentuk
perseroan dagang partikelir yang bernama VOC
berganti dengan Badan Pemerintahan resmi yaitu Pemerintahan Hindia Belanda. Semula pernah terjadi
pergeseran Pemerintahan penjajahan dari Hindia Belanda kepada Inggris, tetapi
tidak berjalan lama dan segera kembali kepada Belanda lagi. Dalam usaha
memperkuat kolonialismenya Belanda menghadapi perlawanan bangsa Indonesia yang
dipimpin oleh Patimura (1817), Imam Bonjol di Minangkabau (1822-1837),
Diponogoro di Mataram (1825-1830), Badaruddin di Palembang (1817), Pangeran Antasari di Kalimantan (1860) Jelantik di Bali (1850), Anang
Agung Made di Lombok (1895) Teuku
Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya’Din
di Aceh (1873-1904), Si
Singamangaraja di Batak (1900).
Pada Hakikatnya perlawanan
terhadap Belanda itu terjadi hampir
setiap daerah di Indonesia. Akan tetapi
perlawanan-perlawanan secara
fisik terjadi secara sendiri-sendiri
di setiap daerah. Tidak adanya persatuan serta koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak
berhasilnya bangsa Indonesia mengusir kolonialis, sebaliknya semakin
memperkukuh kedudukan penjajah. Hal ini membuktikan betapa pentingnya rasa
persatuan (nasionalisme) dalam menghadapi penjajahan.
2. Kebangkitan Nasional 1908
Pada permulaan abad ke XX
bangsa Indonesia mengubah cara-caranya dalam melakukan perlawanan terhadap
penjajahan Belanda. Kegagalan perlawanan secara fisik yang tidak adanya
koordinasi pada masa lalu mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia abad ke XX itu
untuk merubah bentuk perlawanan yang lain. Bentuk perlawanan itu ialah dengan
membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya bernegara. Usaha-usaha yang dilakukan adalah mendirikan berbagai macam organisasi politik di samping organisasi yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan sosial. Organisai
sebagai pelopor pertama adalah Budi
Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Mereka yang tergabung dalam organisasi itu
memulai merintis jalan baru ke arah tercapainya cita-cita perjuangan bangsa
Indonesia., tokohnya yang terkenal adalah
dr. Wahidin Sudirohusodo.
Kemudian bermunculan organisasi pergerakan lain, yaitu Sarikat Dagang Islam (1909), kemudian berubah bentuknya menjadi
pergerakan politik dengan menganti nama menjadi Sarikat Islam (1911) di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Berikutnya muncul pula Indische Parti (1913) dengan pimpinan Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo
dan Ki Hajar Dewantara, namun karena terlalu radikal sehingga pemimpinnya
di buang ke luar negeri (1913). Akan tetapi perjuangan tidak kendur karena
kemudian berdiri Partai Nasional Indonesia (1927) yang di pelopori oleh Sukarno dan kawan-kawan.
3. Sumpah Pemuda 1928
Pada tanggal 28 Oktober 1928
terjadilah penonjolan peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencapai
cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia yang di pelopori oleh Muh. Yamin,
Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain mengumandangkan
Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan
akan adanya Bangsa, tanah air dan bahasa satu yaitu
Indonesia.
Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa
Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya
persatuan sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali
pengikat persatuan itu adalah Bahasa Indonesia.
Realisasi perjuangan bangsa
pada tahun 1930 berdirilah Partai Indonesia
yang disingkat dengan Partindo
(1931) sebagai pengganti PNI yang
dibubarkan. Kemudian golongan Demokrat yang terdiri dari Moh. Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan PNI Baru, dengan semboyan kemerdekaan
Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
Perjuangan Bangsa Indonesia Zaman Penjajahan
Jepang
Pada tanggal 7 Desember 1941 meletuslah
Perang Pasifik, dengan dibomnya Pearl Harbour oleh Jepang. Dalam
waktu yang singkat Jepang dapat menduduki daerah-daerah jajahan Sekutu di
daerah Pasifik.
Kemudian pada tanggal 8 Maret
1942 Jepang masuk ke Indonesia menghalau penjajah Belanda, pada saat itu Jepang
mengetahui keinginan bangsa Indonesia, yaitu Kemerdekaan Bangsa dan tanah air
Indonesia. Peristiwa penyerahan Indonesia
dari Belanda kepada Jepang terjadi di Kalijati
Jawa Tengah tanggal 8 Maret 1942.
Jepang mempropagandakan
kehadirannya di Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari cengkraman Belanda.
Oleh sebab itu Jepang memperbolehkan pengibaran bendera merah putih serta menyanyikan lagu Indonesia
raya. Akan tetapi hal itu merupakan tipu
muslihat agar rakyat Indonesia membantu Jepang untuk menghancurkan Belanda.
Kenyataan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya Jepang tidak kurang kejamnya dengan
penjajahan Belanda, bahkan pada zaman ini bangsa Indonesia mengalami penderitaan dan penindasan yang sampai kepada
puncaknya. Kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia yang didambakan tak
pernah menunjukkan tanda-tanda kedatangannya, bahkan terasa semakin
menjauh bersamaan dengan semakin
mengganasnya bala tentara Jepang.
Kekecewaan rakyat Indonesia
akibat perlakuan Jepang itu menimbulkan perlawanan-perlawanan
terhadap Jepang baik secara illegal maupun secara legal, seperti pemberontakan PETA
di Blitar.
Sejarah berjalan terus, di
mana Perang Pasifik menunjukan tanda-tanda akan berakhirnya dengan kekalahan
Jepang di mana-mana. Untuk mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia, Jepang berusaha membujuk hati bangsa
Indonesia dengan mengumumkan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari
apabila perang telah selesai. Kemudian janji
yang kedua kemerdekaan diumumkan lagi oleh Jepang berupa “Kemerdekaan tanpa syarat” yang
disampaikan seminggu sebelum Jepang menyerahkan kepada bangsa Indonesia
memperjuangkan kemerdekaannya, bahkan menganjurkan agar berani mendirikan
negara Indonesia merdeka dihadapan musuh Jepang.
B. Pancasila Pra Kemerdekaan
Dr. Radjiman Wediodiningrat,
selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada
tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara)
Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan memutar kembali
ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk
menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam
lumpur sejarah (Latif, 2011: 4). Begitu lamanya penjajahan menyebabkan bangsa
Indonesia hilang arah dalam menentukan dasar negaranya. Atas permintaan Dr.
Radjiman inilah, figur-figur negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk
menemukan kembali jati diri bangsanya. Pada sidang pertama BPUPKI yang
dilaksanakan dari tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, tampil berturut-turut untuk
berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945
Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesia sebagai
berikut:
1) Peri Kebangsaan,
2) Peri Kemanusiaan,
3) Peri Ketuhanan,
4) Peri Kerakyatan dan
5) Kesejahteraan Rakyat.
Kemudian Prof. Dr. Soepomo
pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan
teori-teori Negara, yaitu:
1) Teori negara perseorangan
(individualis),
2) Paham negara kelas dan
3) Paham negara integralistik.
Selanjutnya oleh Ir. Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari:
1) Nasionalisme (kebangsaan
Indonesia),
2) Internasionalisme (peri kemanusiaan),
3) Mufakat (demokrasi),
4) Kesejahteraan sosial, dan
5) Ketuhanan Yang Maha Esa
(Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40).
Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno
mengatakan, “Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam
pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka
Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan
saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa
Belanda: “Philosofische grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische
grond-slag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam dalamnya, jiwa,
hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang
kekal dan abadi”(Bahar, 1995: 63).
Demikian
hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan koheren,
namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut sebagai
pencipta Pancasila. Beliau mengatakan, “Kenapa diucapkan terima kasih kepada
saya,kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa
saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi
tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya
persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa
sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana
tiap-tiap manusia, jikalau ia
benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah
Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam Latif, 2011: 21).
Selain ucapan
yang disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan khasanah budaya
Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia yang
terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di Indonesia, seperti berikut:
1. Pada kerajaan Kutai, masyarakat Kutai
merupakan pembuka zaman sejarah Indonesia untuk pertama kali, karena telah
menampilkan nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri
dan sedekah kepada para Brahmana (Kaelan, 2000: 29).
2. Perkembangan
kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad Yamin disebut sebagai Negara Indonesia
Pertama dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila
material yang paling berkaitan satu sama lain, seperti nilai persatuan yang
tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat
kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya
terhadap para datu. Nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu
sama lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang terentang
dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan
Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari
birokrasi pemerintahan Sriwijaya (Suwarno, 1993: 20-21).
3. Pada masa kerajaan Majapahit, di bawah raja
Prabhu Hayam Wuruk dan Apatih Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil
mengintegrasikan nusantara. Faktor factor yang dimanfaatkan untuk menciptakan
wawasan nusantara itu adalah: kekuatan religio magis yang berpusat pada Sang
Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di
Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai
religious sosial dan politik yang merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak
memasuki zaman sejarah (Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada masa kerajaan ini,
istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan
Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah
Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa
Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila
Krama), yaitu:
1. Tidak
boleh melakukan kekerasan
2. Tidak
boleh mencuri
3. Tidak
boleh berjiwa dengki
4. Tidak
boleh berbohong
5. Tidak
boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).
Kedua zaman, baik Sriwijaya
maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah karena pada waktu itu bangsa telah
memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang mempunyai negara. Baik Sriwijaya
maupun Majapahit waktu itu merupakan negara-negara yang berdaulat, bersatu
serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara. Pada zaman tersebut
bangsa Indonesia telah mengalami kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem, kerta raharja (Darmodihardjo dkk, 1991: 21).
Selain zaman kerajaan,
masih banyak fase-fase yang harus dilewati menuju Indonesia merdeka hingga
tergalinya Pancasila yang setelah sekian lama tertimbun oleh penjajahan
Belanda. Sebagai salah satu tonggak sejarah yang merefleksikan dinamika
kehidupan kebangsaan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila adalah
termanifestasi dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi,
“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia. Penemuan kembali Pancasila sebagai jati diri bangsa
terjadi pada sidang pertama
BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Pada tanggal 1
Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyebutkan lima dasar bagi
Indonesia merdeka. Sungguh pun Ir. Soekarno telah mengajukan lima sila dari
dasar negara, beliau juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak
menyukai bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari
segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila
bahkan dapat dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-nationalisme,
socio democratie dan ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang dijelaskan oleh
Ir. Soekarno yaitu “Gotong Royong” karena menurut Ir. Soekarno negara Indonesia
yang kita dirikan haruslah negara gotong royong (Latif, 2011: 18-19). Tetapi
yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (disamping nama
Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih) (Notosusanto, 1981: 21). Ini bukan
merupakan kelemahan Ir. Soekarno, melainkan merefleksikan keluasan wawasan dan
kesiapan berdialog dari seorang negarawan besar. Faktanya Ir, Soekarno diakhir
sejarah terbukti sebagai penggali Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
Setelah sidang
pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang disebabkan
perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI
terdiri dari elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit
Nasionalis Kristen. Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai
dasar Negara, namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi
politik antara Nasionalis netral agama dengan Nasionalis Muslim untuk
menyepakati Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi “tujuh kata”: “…dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” (Risalah Sidang BPUPKI, 1995; Anshari, 1981;
Darmodihardjo, 1991). Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan
cepat dan legowo demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta;
Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit
Muslim sendiri tidak ingin republic yang dibentuk ini merupakan negara berbasis
agama tertentu (Eleson dalam Surono dan Endah (ed.), 2010: 37).
Pada awal
kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai
kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi
di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan
Indonesia merdeka (Ali, 2009: 17). Inilah perjalanan The Founding Fathers yang
begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan keadaan agar dapat
melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan masyarakat Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, 1979, Pengembangan
Pancasila di Indonesia, Yayasan Idayu, Jakarta.
Ali, As’ad Said, 2009, Negara
Pancasila Jalan KemaslahatanBerbangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta.
Anshari, Endang Saifuddin,
1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara
Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959,
Pustaka-Perpustakaan Salman
ITB, Bandung. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, 1994,
Bahan Penataran P-4,
Pancasila/P-4, BP-7 Pusat, Jakarta.
Bahar, Safroedin, 1995, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 28 Mei 1945-22
Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Darmodihardjo, D, 1978, Orientasi
Singkat Pancasila, PT. Gita Karya, Jakarta.
Darmodihardjo, D dkk., 1991, Santiaji
Pancasila Edisi Revisi, Usaha Nasional, Surabaya.
Dodo, Surono dan Endah (ed.),
2010, Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya, PSP-Press,
Yogyakarta.
Hidayat, Arief, 2012, “Negara
Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum”, Makalah pada
Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal 31 Mei- 1 Juni 2012., 1978,
Tinjauan Pancasila: Dasar Filsafat Negara
Republik Indonesia, Carya Remadja, Bandung.
Kaelan, 2000, Pendidikan
Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
_____, 2012, Problem
Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Paradigma, Yogyakarta.
Latif, Yudi, 2011, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
MD, Moh. Mahfud, 2011,
“Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas
Indonesia”, Makalah pada Sarasehan Nasional 2011 di Universitas Gajah Mada
Yogyakarta tanggal 2-3 Mei 2011.
Notosusanto, Nugroho, 1981, Proses
Perumusan Pancasila Dasar Negara, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat
Pancasila Bagian II: Moral Pancasila, Universitas Diponegoro, Semarang.
Soekarno, 1989, Pancasila
dan Perdamaian Dunia, CV Haji Masagung, Jakarta.
Suwarno, 1993, Pancasila
Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Yamin, Muhammad, 1954, Proklamasi
dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan, Jakarta/Amsterdam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar