MODUL PERKULIAHAN
|
|
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
|
|
Modul ini mengupas tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat.
|
|
Fakultas
|
Program Studi
|
TM
|
Kode MK
|
Disusun Oleh
|
||
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
03
|
A21325EL (B-404)
|
H.U.
ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.
|
Abstract
|
Kompetensi
|
Mampu memahami sekaligus
menrapkan nilai-nilai Pancasila
|
Diharapkan dapat menerapkan
Pancasila sebagaisistem filsafat.
|
PANCASILA
SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Latar Belakang
Perkembangan
masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung maupun tidak langsung
mengakibatkan perubahan besar pada berbagai bangsa di dunia. Gelombang besar kekuatan
internasional dan transnasional melalui globalisasi telah mengancam bahkan
menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia. Akibat yang
langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan
kebangsaan, karena adanya perbenturan kepentingan antara nasionalisme dan
internasionalisme.
Pancasila berfungsi membentuk
identitas bangsa dan negara Indonesia sehingga bangsa dan Negara Indonesia
memiliki ciri khas berbeda dari bangsa dan Negara lain. Pembedaan ini
dimungkinkan karena ideologi memiliki cirri selain sebagai pembeda juga sebagai
pembatas dan pemisah dari ideologi lain.
A. Pengertian Filsafat
Istilah ‘filsafat’ berasal dari
bahasa Yunani, (philosophia), tersusun dari kata philos yang
berarti cinta atau philia yang berarti persahabatan, tertarik kepada dan
kata sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan,
pengalaman praktis, inteligensi (Bagus, 1996: 242). Dengan demikian philosophia
secara harfiah berarti mencintai kebijaksanaan. Kata kebijaksanaan juga
dikenal dalam bahasa Inggris, wisdom. Berdasarkan makna kata tersebut
maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari
kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep yang bermanfaat bagi
peradaban manusia.
Suatu pengetahuan bijaksana akan
mengantarkan seseorang mencapai kebenaran. Orang yang mencintai pengetahuan
bijaksana adalah orang yang mencintai kebenaran. Cinta kebenaran adalah
karakteristik dari setiap filsuf dari dahulu sampai sekarang. Filsuf dalam
mencari kebijaksanaan, mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya.
Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan
pengetahuan yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.
Dalam Kamus Filsafat, Bagus
(1996: 242) mengartikan filsafat sebagai sebuah pencarian. Beranjak dari arti
harfiah filsafat sebagai cinta akan kebijaksanaan, menurut Bagus (1996:
242-243), arti itu menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna
memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan
kebijaksanaan, namun terus-menerus harus mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang
dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang
menembus dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh
realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia.
B. Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat
didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai
dasar Negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan
pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan
sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang
dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani, 1998).
Pengertian
filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau pemikiran yang
sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini
sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan
paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila kemudian
dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya berakhir pada 1965.
Pada saat itu Soekarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat
asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia, serta merupakan
akulturasi budaya India (Hindu-Buddha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam).
Filsafat Pancasila menurut Soeharto telah mengalami Indonesianisasi. Semua sila
dalam Pancasila adalah asli diangkat dari budaya Indonesia dan selanjutnya
dijabarkan menjadi lebih rinci ke dalam butir-butir Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat
digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat Pancasila tidak hanya
mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari,
tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung)
agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di
dunia maupun di akhirat (Salam, 1988: 23-24). Sebagai filsafat, Pancasila memiliki
dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis, seperti diuraikan di bawah ini.
Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem
filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu Sila-sila
Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu
totalitas). Dengan pengertian lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila
dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan Pancasila.
1. Dasar Ontologis Pancasila
Dasar-dasar ontologis Pancasila
menunjukkan secara jelas bahwa Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas
dengan identitas dan entitas yang jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar
ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang digunakan, isi dan susunan
sila-sila, tata hubungan, serta kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan
secara ontologis itu dapat memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara
filosofis. Kaelan (2002: 69) menjelaskan dasar ontologis Pancasila pada
hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis.
Manusia Indonesia menjadi dasar adanya Pancasila. Manusia Indonesia sebagai
pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan rohani,
sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan, 2002:72). Ciri-ciri dasar dalam setiap sila
Pancasila mencerminkan sifat-sifat dasar manusia yang bersifat dwi-tunggal. Ada
hubungan yang bersifat dependen antara Pancasila dengan manusia Indonesia.
Artinya, eksistensi, sifat dan kualitas
Pancasila amat bergantung pada
manusia Indonesia. Selain ditemukan adanya manusia Indonesia sebagai pendukung
pokok Pancasila, secara ontologis, realitas yang menjadikan sifat-sifat melekat
dan dimiliki Pancasila dapat diungkap sehingga identitas dan entitas Pancasila
itu menjadi sangat jelas. Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk member
lima dasar negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya Soepomo dan Muhammad
Yamin meskipun menyampaikan konsep dasar negara masing-masing tetapi tidak
sampai memberikan nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didalamnya duduk Soekarno sebagai
anggota, menggunakan istilah Pancasila yang diperkenankan Soekarno menjadi nama
resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya terdiri dari lima sila, tidak seperti
yang diusulkan Soekarno melainkan seperti rumusan PPKI yang tercermin dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Berhubung pengertian Pancasila merupakan
kesatuan, menurut Notonagoro (1983: 32), maka lebih seyogyanya dan tepat untuk
menulis istilah Pancasila tidak sebagai dua kata “Panca Sila”, akan tetapi
sebagai satu kata “Pancasila”. Penulisan Pancasila bukan dua kata melainkan
satu kata juga mencerminkan bahwa Pancasila adalah sebuah sistem bukan dua buah
sistem. Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar Negara Indonesia
adalah bukan istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 di depan
sidang BPUPKI, bukan Pancasila yang ada dalam kitab Sutasoma, bukan yang ada
dalam Piagam Jakarta, melainkan yang ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945.
Jika ditinjau menurut sejarah
asal-usul pembentukannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar filsafat
negara. Ada empat macam sebab (causa) yang menurut Notonagoro dapat
digunakan untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu sebab
berupa materi (causa material), sebab berupa bentuk (causa formalis),
sebab berupa tujuan (causa finalis), dan sebab berupa asal mula
karya (causa eficient) (Notonagoro,1983: 25). Lebih jauh Notonagoro
menjelaskan keempat causa itu seperti berikut. Pertama, bangsa
Indonesia sebagai asal mula bahan (causa materialis) terdapat dalam adat
kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya; kedua, seorang anggota
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu
Bung Karno yang kemudian bersama-sama Bung Hatta menjadi Pembentuk Negara,
sebagai asal mula bentuk atau bangun (causa formalis) dan asal mula
tujuan (causa finalis) dari Pancasila sebagai calon dasar filsafat
Negara; ketiga, sejumlah sembilan orang, di antaranya kedua beliau
tersebut ditambah dengan semua anggota BPUPKI yang terdiri atas
golongan-golongan kebangsaan dan agama, dengan menyusun rencana Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tempat terdapatnya Pancasila, dan juga Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menerima rencana
tersebut dengan perubahan sebagai asal
mula sambungan, baik dalam arti asal mula bentuk maupun dalam arti asal mula
tujuan dari Pancasila sebagai Calon Dasar Filsafat Negara; keempat,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai asal mula karya (causa
eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara
yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat Negara (Notonagoro,
1983: 25-26).
Selanjutnya
Pancasila secagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan
lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat
dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makluk
individu sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta kedudukannya sebagai
makluk pribadi yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan.
Konsekuensinya segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai
nilai Pancasila yang merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat
manusia yang monodualis tersebut.
Kemudian
seluruh nilai nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi
bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan
negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai nilai Pancasila, seperti
bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas dan kewajiban negara dan
warga negara, sistem hukum negara, moral negara dan segala sapek
penyelenggaraan negara lainnya.
2. Dasar Epistemologis Pancasila
Epistemologi Pancasila terkait
dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun
sebagai abstraksi dan penyederhanaan terhadap realitas yang ada dalam
masyarakat bangsa Indonesia dengan lingkungan yang heterogen, multikultur, dan
multietnik dengan cara menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan
kesamaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia
(Salam, 1998: 29).
Masalah-masalah yang dihadapi
menyangkut keinginan untuk mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, perdamaian,
dan ketentraman. Pancasila itu lahir sebagai respon atau jawaban atas keadaan
yang terjadi dan dialami masyarakat bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan
harapan. Diharapkan Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan
kesulitan hidup yang dihadapi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki kebenaran
korespondensi dari aspek epistemologis sejauh sila-sila itu secara praktis
didukung oleh realita yang dialami dan dipraktekkan oleh manusia Indonesia.
Pengetahuan Pancasila bersumber pada manusia Indonesia dan lingkungannya. Pancasila
dibangun dan berakar pada manusia Indonesia beserta seluruh suasana kebatinan
yang dimiliki. Kaelan (2002: 96) mengemukakan bahwa Pancasila merupakan pedoman
atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar
bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan.
Dasar epistemologis Pancasila
juga berkait erat dengan dasar ontologis Pancasila karena pengetahuan Pancasila
berpijak pada hakikat manusia yang menjadi pendukung pokok Pancasila (Kaelan,
2002: 97). Secara lebih khusus, pengetahuan tentang Pancasila yang sila-sila di
dalamnya merupakan abstraksi atas kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki
oleh masyarakat yang pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial.
Epistemologi sosial Pancasila juga dicirikan dengan adanya upaya masyarakat
bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan diri menjadi bangsa
merdeka, bersatu, berdaulat dan berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang
adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta ingin mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sumber pengetahuan Pancasila
dapat ditelusuri melalui sejarah terbentuknya Pancasila. Dalam penelusuran
sejarah mengenai kebudayaan yang berkait dengan lahirnya Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia telah diuraikan di depan yang secara garis
besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Akar sila-sila Pancasila ada dan
berpijak pada nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia. Nilai serta
budaya masyarakat bangsa Indonesia yang dapat diungkap mulai awal sejarah pada
abad IV Masehi di samping diambil dari nilai asli Indonesia juga diperkaya
dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud
berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta nilainilai demokrasi yang dibawa
dari Barat. Berdasarkan realitas yang demikian maka dapat dikatakan bahwa
secara epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber pada nilai dan budaya
tradisional dan modern, budaya asli dan campuran. Selain itu, sumber historis
itu, menurut tinjauan epistemologis, Pancasila mengakui kebenaran pengetahuan
yang bersumber dari wahyu atau agama serta kebenaran yang bersumber pada akal
pikiran manusia serta kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada
pengalaman. Dengan sifatnya yang demikian maka pengetahuan Pancasila
mencerminkan adanya pemikiran masyarakat tradisional dan modern.
3. Dasar Aksiologis Pancasila
Aksiologi terkait erat dengan
penelaahan atas nilai. Dari aspek aksiologi, Pancasila tidak bisa dilepaskan
dari manusia Indonesia sebagai latar belakang, karena Pancasila bukan nilai
yang ada dengan sendirinya (given value) melainkan nilai yang diciptakan
(created value) oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila
hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.
Nilai berhubungan dengan kajian mengenai apa yang secara intrinsik, yaitu
bernilai dalam dirinya sendiri dan ekstrinsik atau disebut instrumental, yaitu
bernilai sejauh dikaitkan dengan cara mencapai tujuan. Pada aliran hedonism
yang menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan, pada utilitarianisme adalah
nilai manfaat bagi kebanyakan orang (Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973:
71).
Pancasila mengandung nilai, baik
intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental. Nilai intrinsik Pancasila
adalahhasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang
diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia
memasuki masa sejarah abad IV Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh
para kaum cendekiawan Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para
pejuang kemerdekaan lainnya yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke
negara Belanda.
Kekhasan nilai yang melekat dalam
Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu
kesatuan. Kekhasan ini yang membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum
universal. Karena sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak hanya
milik manusia Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia. Pancasila sebagai
nilai instrumental mengandung imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses
mewujudkan cita-cita negara bangsa,
seharusnya menyesuaikan dengan sifatsifat yang ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai instrumental,
Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia Indonesia, melainkan juga
berfungsi sebagai cara (mean) dalam mencapai tujuan, bahwa dalam
mewujudkan cita-cita negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang
berketuhanan, berketuhanan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan
yang menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan
idealitas. Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila
Pancasila berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh
bangsa Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila
berisi nilai-nilai idealitas, yaitu nilai yang diinginkan untuk dicapai.
Secara
aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa
Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa
Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu
telah menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan menusia dan bangsa
Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya
dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.
C. Hakikat Sila-Sila Pancasila
Kata ‘hakikat’ dapat diartikan
sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah
unsure tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah dengan
sesuatu lain dan bersifat mutlak. Ditunjukkan oleh Notonagoro (1975: 58),
hakikat segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak dari unsur-unsur yang
menyusun atau membentuknya. Misalnya, hakikat air terdiri atas dua unsure
mutlak, yaitu hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua unsure tersebut bersifat
mutlak untuk mewujudkan air. Dengan kata lain, kedua unsur tersebut secara
bersama-sama menyusun air sehingga terpisah dari benda yang lainnya, misalnya
dengan batu, kayu, air raksa dan lain sebagainya. Terkait dengan hakikat
sila-sila Pancasila, pengertian kata ‘hakikat’ dapat dipahami dalam tiga
kategori, yaitu:
1) Hakikat abstrak yang disebut
juga sebagai hakikat jenis atau hakikat umum yang mengandung unsur-unsur yang
sama, tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk
pada kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Menurut
bentuknya, Pancasila terdiri atas kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat,
dan adil yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa ke dan an (sila I, II, IV,
dan V), sedangkan yang satu berupa per dan an (sila III). Kedua macam awalan
dan akhiran itu mempunyai kesamaan dalam maksudnya yang pokok, ialah membuat
abstrak atau mujarad, tidak maujud atau lebih tidak maujud arti
daripada kata dasarnya (Notonagoro, 1967: 39).
2) Hakikat pribadi sebagai
hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat kepada barang sesuatu.
Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila
yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai agama,
nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang melekat pada bangsa Indonesia
sehingga membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia.
Sifat-sifat dan ciri-ciri ini tetap melekat dan ada pada bangsa Indonesia.
Hakikat pribadi inilah yang
realisasinya sering disebut sebagai kepribadian, dan totalitas kongkritnya
disebut kepribadian Pancasila.
3) Hakikat kongkrit yang bersifat
nyata sebagaimana dalam kenyataannya. Hakikat kongkrit Pancasila terletak pada
fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dalam realisasinya, Pancasila
adalah pedoman praktis, yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan
negara, bangsa dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan seharihari,
tempat, keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakikat kongkrit itu, pelaksanaan
Pancasila dalam kehidupan Negara setiap hari bersifat dinamis, antisipatif, dan
sesuai dengan perkembangan waktu, keadaan, serta perubahan zaman (Notonagoro,
1975: 58-61).
Pancasila yang berisi lima sila,
menurut Notonagoro (1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila
Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut:
1. Kesatuan sila-sila Pancasila
dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk pyramidal Susunan secara
hirarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan
berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di
bawahnya. Sila pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga,
sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila kelima.
Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkis
sila-sila Pancasila menurut urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal
sifat-sifatnya (kwalitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa menurut
urut-urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada
dimukanya.
Dalam susunan hirarkis dan
piramidal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan
Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan
mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila
lainnya. Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem
yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61 dan 1975:
52, 57), bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan
sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk
manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya
Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok
negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai
persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan
demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila
ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut
rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan
pemerintah. Rakyat adalah totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu
(sila keempat). Adapun keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama
atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga
hidup bersama yang disebut negara.
2. Hubungan kesatuan sila-sila
Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi Sila-sila Pancasila
sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau
mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti di atas.
Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya atau
dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan hubungan kesatuan
keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hirarkis
piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang
saling mengisi dan saling mengkualifikasi.
a) Sila pertama; Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia;
b) Sila kedua; kemanusiaan yang
adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia;
c) Sila ketiga; persatuan
Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
d) Sila keempat; kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah
kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia;
e) Sila kelima; keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro,1975: 43-44).
Kelima Sila
Pancasila Merupakan Satu Kesatuan
- Pancasila
susunannya adalah majemuk tunggal (merupakan satu kesatuan
yang bersifat organis),
yaitu:
(1) Terdiri
dari bahagian-bahagian yang tidak terpisahkan.
(2) Masing-masing bagian mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri,
(3) Meskipun berbeda tidak saling bertentangan, akan tetapi saling melengkapi,
(4) Bersatu untuk mewujudkannya secara keseluruhan,
(5) Keseluruhan
membina bagian-bagian,
(6) Tidak boleh satu silapun ditiadakan, melainkan merupakan
satu kesatuan.
- Bentuk
susunannya adalah hirarkis piramidal (kesatuan bertingkat dimana tiap sila
dimuka, sila lainnya merupakan basis)
Pancasila yang bentuk
susunannya hirarkis – pyramidal adalah sebagai berikut:
Sila Pertama; meliputi
dan menjiwai sila kedua, sila ketiga, sila keempat dan sila kelima.
Sila Kedua : diliputi dan dijiwai sila pertama, meliputi
dan menjiwai sila ketiga, sila keempat
dan sila kelima.
Sila Ketiga : diliputi dan dijiwai sila pertama, sila
kedua, meliputi sila keempat dan sila
kelima.
Sila Keempat: diliputi
dan dijiwai sila pertama, sila kedua, sila ketiga dan meliputi sila kelima.
Sila Kelima :
diliputi dan dijiwai oleh seluruh sila-sila.
Konsep Negara
Pancasila
Menurut Pembukaan UUD 1945 adalah “ Faham negara
Persatuan” yang meliputi kehidupan masyarakat.
a. Sifat
Sosialistis - Religius
b. Semangat
Kekeluargaan dan Kebersamaan
c. Semangat
Persatuan
d. Musyawarah
e. Menghendaki
Keadilan Sosial
Ide
Pokok Bangsa dan Kebangsaan Indonesia dapat dilihat dari sifat keseimbangan
Pancasila, yaitu :
(1) Keseimbangan
antara golongan agama (Islam) dan golongan Nasionalis (Negara Theis Demokrasi)
(2) Keseimbangan
antara sifat individu dan sifat social (aliran monodualisme).
(3) Keseimbangan
antara Ide – ide asli Indonesia (faham dialektis).
Faham
Integralistik (Faham Negara Persatuan), terjermin dalam nilai-nilai dasar faham
kekeluargaan, yaitu:
(a) Persatuan dan kesatuan serta saling ketergantungan satu
sama lain dalam masyarakat.
(b) Bertekad dan berkehendak sama untuk kehidupan kebangsaan
yang bebas, merdeka dan bersatu.
(c) Cinta
tanah air dan bangsa serta kebersamaan.
(d) Kedaulatan rakyat dengan sikap demokratis dan toleran.
(e) Kesetiakawanan
sosial, non diskriminatif.
(f) Berkeadilan sosial dan kemakmuran masyarakat.
(g) Menyadari
bahwa bangsa Indonesia berada dalam tata pergaulanan dunia dan universal.
(h) Menghargai
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar