|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
PANCASILA DALAM BERBANGSA DAN
BERNEGARA
|
|
|
|
Modul ini mengupas tentang Pancasila dalam berbangsa
dan bernegara
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program
Studi
|
ON LINE
|
Kode MK
|
Disusun
Oleh
|
|
|
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
08
|
A21325EL
(B-404)
|
H.U. ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.7
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
Mampu
memahami sekaligus menerapkan nilai-nilai Pancasila
|
Diharapkan
dapat menerapkan Pancasila dalam berbangsa dan bernegara
|
PANCASILA
DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA
Latar Belakang
Pancasila memiliki
bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara,
pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila
juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat
dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat
dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat.
A. Etika Pancasila Dalam
Bernegara
Sebagai
salah cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat.
Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Berbagai bidang etika
khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi dan
etika pendidikan. Dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan
dimensi politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan norma moral,
yaitu norma untuk mengukur betul – salahnya tindakan manusia sebagai manusia.
Dengan demikian etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban
manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga negara terhadap negara,
hukum yang berlaku dan lain sebagainya
Fungsi
etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis
untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung
jawab. Jadi tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara
rasional, obyektif dan argumentif. Etika politik tidak langsung mencampuri
politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah
ideologis dapat dijalankan secara obyektif, etika politik dapat memberikan
patokan orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang mau menilai
kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat manusia atau
mempertanyakan legitimasi moral perlbagai keputusan politik. Suatu keputusan
bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan.
Hukum dan kekuasan negara merupakan
pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang
normatif, kekuasaan negara sebgai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai
dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi
etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Sebetulnya keduanya tidak terpisah,
Hukum tanpa kekuasan negara tidak dapat berbuat apa-apa, sifatnya normatif
belaka, hukum tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa
hukum adalah buta. Negara yang memakai kekuasaannya diluar hukum sama dengan
manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu menjadi negara penindas dan sangat mengerikan.
Prinsip-prinsip etika politik yang
menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu negara adalah adanya cita-cita
“the rule of law”, partisipasi demokratis
masyarakat, jaminan hak-hak asasi manusia menurut kekhasan paham
kemanusiaan dan struktur sosial budaya masyarakat masing-masing dan keadilan
sosial.
2.
Legitimasi Kekuasaan
Pokok
permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan, yang dapat
dirumuskan dengan suatu pertanyaan: dengan moral apa seseorang atau sekelompok
orang memegang dan menggunakan yang mereka miliki? Betapa besarnya kekuasaan
yang dimiliki seseorang, dia harus berhadapat dengan tuntutan untuk
mempertanggungjawabkannya. Paham pertanggungjawaban menyatakan bahwa penguasa
memang memiliki kekuasaan dan bahwa masyarakat berhak untuk menuntut
pertanggungjawaban.
Dalam etikan politik, kekuatan batin
penguasa berpancaran sebagai wibawa ke dalam masyarakat. Rakyat dapat
merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Wibawa
penguasa itu bukan suatu yang sekedar psikis atau mistik melainkan ditunjang oleh
kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik. Ia dapat mengatur dan
mengorganisir orang banyak dan memastikan kemampuannya itu dengan ancam,an atau
sanksi nya terhadap mereka yang mau membangkang.
Kewibawan penguasa yang paling
menyakinkan adalah keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi keresahan dalam
masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidak puasan, tantangan, perlawanan dan
kekacauan merupakan tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya keselarasan nampak
apabila masyarakat merasa tenang, tenteram dan sejahtera.
Budi luhur penguasa nampak dalam cara
ia menjalankan pemerintahannya. Sesuai dengan sifat dan hakekat kekuasaan
sendiri cara pemakaiannya secara halus. Kehalusan pemerintahan diharapkan dapat
mencapai keadaan sejahtera, adil dan tenteran dalam masyarakat tanpa perlu
memakai cara-cara kasar..
Penyusutan kekuasan seorang penguasa
akan dihubungkan dengan pamrih yang berlebihan, karena pamrih menunjukkan bahwa
ia tidak lagi sanggup untuk memusatkan diri pada alam batin atau hati nurani
yang sebenarnya. Karena pamrih penguasa untuk menyadap kekuatan-kekuatan alam
semesta semakin berkurang sampai akhirnya ia kehilangan kekuasaannya. Oleh
sebab itulah sejarah telah membuktikan sekuat-kuatnya seorang penguasa pada
titik puncaknya, namun diakhirnya dia akan jatuh bagaikan tidak bermaya. Maka
oleh sebab itu, bahaya besar bagi kedudukan penguasa tidak berasal dari musuh di luar atau faktor
obyektif dalam masyarakat, melainkan dari kemerosotan akhlak dan budi pekerti
penguasa itu sendiri. Apabila ia menyelahgunakan kedudukkannya untuk memperkaya
diri dan keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu
juga kalu kekuasannya merosot menjadi sistem penghisapan kekayaan dan tenaga
masyarakat demi keuntungan material, maka hakikat keuasaan yang sempurna sudah
menguap hilang. Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya
adalah keluhuran budinya.
Legitimasi kekuasaan meliputi:
a.
legitimasi
etis, yaitu pembenaran atau pengabsahan wewenang negara (kekuasaan negara)
berdasarkan prinsip-prinsip moral.
b.
Legitmimasi
legalitas, yaitu keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi-fungsi
kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tuntutan
legalitas itu merupakan tuntutan etika
politik. Namun, legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis,
karena legalitas menggunakan hukum yang berlaku (hukum positif). Padahal belum
tentu bahwa hukum yang berlaku sendiri dapat dibenarkan secara etis. Oleh sebab
itu, hukum dalam kerangka etika politik
adalah hukum yang berkeadilan dengan fungsinya untuk memanusiakan
penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak
ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu
aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak.
3. Moralitas Kekuasaan
Legitimasi
etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
Legitimasi ini muncul dalam konteks
bahwa setiap tindakan negara baik dari
legislatif maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral.
Tujuannya adalah agar kekuasaan itu mengarahkan
kekuasaan ke pemakaian kebijaksanaan dan cara-cara yang semakin sesuai
dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada zaman sekarang (modern)
tuntutan legitimasi moral merupakan
salah satu untuk pokok dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahawa negara
hanya boleh bertindak dalam batas-batas hukum, bahawa hukum harus menghormati
hak asasi manusia, begitu pula pelbagai penolakan terhadap kebijaksanaan
politik tertentu, seperti isu ketidak adilan sosial, semua berwujud tuntutan
agar negara melegitimasikan diri secara moral. Dalam hal inilah kalanagan paham
agama secara klasik membuat rumusan bahawa “kita
harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia”.
Moralitas
kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya
oleh masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat religius, maka ukuran
apakah penguasan itu memiliki etika politik tidak lepas dari moral agama yang
dianut oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu, pernyataan-pernyataan yang sering
dilontarkan oleh umat beragama adalah bahawa kekuasaan itu adalah amanah dari
Allah dan harus dipertanggung jawabkan kepadaNya kelak. Di samping terdapat
juga ungkapan dari tradisi masyarakat
yang menyatakan “raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Makna dari ungkapan ini tidak lepas dari
kemuliaan dan kebaikan seseorang penguasa sangat ditentukan oleh masyarakatnya,
tentunya sikap masyarakat tersebut dilandasi oleh moralitas yang hidup dalam
masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, alat pengukur etika politik yang
dilaksanakan oleh penguasa ditentukan oleh nilai, moral dan norma yang
berkembang dalam masyarakat.
Pada hakikatnya kekuasaan memiliki
hati nurani, yaitu keadilan dan memakmuran rakyat, apabila kehilangan hati
nurani tersebut maka kekuasan yang terlihat perebutan kekuasaan semata-mata
yang dilumuri oleh intrik, fitnah, dengki, cavi maki dan iri hati. Sehingga
kekuasaan akan merusak tatatan kerukuan hidup masyarakat. Apabila hati nurani
kekuasaan melekat pada nurani seorang penguasa, maka kekuasaan adalah amat
rakyat sehingga akan melahirkan martabat, harga diri dan rezeki.
B. Pancasila Sebagai Solusi Persoalan
Bangsa dan Negara
(Studi Kasus Korupsi)
Situasi negara Indonesia saat ini begitu memprihatinkan.Begitu banyak
masalah menimpa bangsa ini dalam bentuk krisis yang multidimensional.Krisis
ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam, pendidikan dan lain-lain, yang
sebenarnya berhulu pada krisis moral.Tragisnya, sumber krisis justru berasal
dari badanbadan yang ada di negara ini, baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, yang notabene badan-badan inilah yang seharusnya mengemban
amanat rakyat.Setiap hari kita disuguhi beritaberita mal-amanah yang
dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya rakyat untuk menjalankan mesin
pembangunan ini.
Sebagaimana telah dikatakan
bahwa moralitas memegang kunci sangat
penting dalam mengatasi krisis. Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua
masalah, maka melalui moralitas pula krisis dapat diatasi.Indikator kemajuan
bangsa tidak cukup diukur hanya dari kepandaian warganegaranya, tidak juga dari
kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih mendasar adalah sejauh mana
bangsa tersebut memegang teguh moralitas.Moralitas memberi dasar, warna
sekaligus penentu arah tindakan suatu bangsa.Moralitas dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu moralitas individu, moralitas sosial dan moralitas mondial.
Moralitas individu lebih
merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke dalam, tertanam dalam
diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Seorang yang
memiliki moralitas individu yang baik akan muncul dalam sikap dan perilaku
seperti sopan, rendah hati, tidak suka menyakiti orang lain, toleran, suka
menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin ibadah dan lain-lain. Moralitas
ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari luar. Bahkan, dalam situasi
amoral yang terjadi di luar dirinya, seseorang yang memiliki moralitas individu
kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas individu ini terakumulasi menjadi
moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara masyarakat yang
bermoral tinggi dan rendah. Adapun moralitas mondial adalah moralitas yang
bersifat universal yang berlaku di manapun dan kapanpun, moralitas yang terkait
dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan, dan sebagainya.
Moralitas sosial juga
tercermin dari moralitas individu dalam melihat kenyataan sosial.Bisa jadi
seorang yang moral individunya baik tapi moral sosialnya kurang, hal ini
terutama terlihat pada bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat yang
majemuk. Sikap toleran, suka membantu seringkali hanya ditujukan kepada orang
lain yang menjadi bagian kelompoknya, namun tidak toleran kepada orang di luar
kelompoknya. Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup sebagai
kumpulan dari moralitas individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana
individu melihat orang lain sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat
kemanusiaan yang sama. Moralitas individu dan sosial memiliki hubungan sangat
erat bahkan saling tarik-menarik dan mempengaruhi.Moralitas individu dapat
dipengaruhi moralitas social, demikian pula sebaliknya.Seseorang yang moralitas
individunya baik ketika hidup di lingkungan masyarakat yang bermoral buruk
dapat terpengaruh menjadi amoral.Kenyataan seperti ini seringkali terjadi pada
lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan berisi orang orang yang
bermoral buruk, maka orang yang bermoral baik akan dikucilkan atau diperlakukan
tidak adil. Seorang yang moralitas individunya lemah akan terpengaruh untuk
menyesuaikan diri dan mengikuti. Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki
moralitas individu baik akan tidak terpengaruh bahkan dapat mempengaruhi
lingkungan yang bermoral buruk tersebut.
Moralitas dapat dianalogikan
dengan seorang kusir kereta kuda yang mampu mengarahkan ke mana kereta akan
berjalan. Arah perjalanan kereta tentu tidak lepas dari ke mana tujuan hendak
dituju. Orang yang bermoral tentu mengerti mana arah yang akan dituju, sehingga
pikiran dan langkahnya akan diarahkan kepada tujuan tersebut, apakah tujuannya
hanya untuk kesenangan duniawi diri sendiri saja atau untuk kesenangan orang
lain atau lebih jauh untuk kebahagiaan ruhaniah yang lebih abadi, yaitu
pengabdian pada Tuhan.
Pelajaran yang sangat
berharga dapat diteladani dari para pendahulu kita yang berjuang demi meraih
kemerdekaan.Moralitas individu dan sosial yang begitu kuat dengan dipayungi
moralitas mondial telah membuahkan hasil dari cita-cita mereka, meskipun mereka
banyak yang tidak sempat merasakan buah perjuangannya sendiri.Dasar moral yang
melandasi perjuangan mereka terabadikan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang termuat dalam alinea-alineanya.
Alinea pertama, “bahwa
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”.Alinea ini menjadi payung moral para pejuang kita bahwa telah
terjadi pelanggaran hak atas kemerdekaan pada bangsa kita. Pelanggaran atas hak
kemerdekaan itu sendiri merupakan pelanggaran atas moral mondial, yaitu perikemanusiaan dan perikeadilan. Apapun
bentuknya penjajahan telah meruntuhkan nilai-nilai hakiki manusia.Apabila
ditilik dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 tampak jelas
bahwa moralitas sangat mendasari perjuangan merebut kemerdekaan dan bagaimana
mengisinya.Alasan dasar mengapa bangsa ini harus merebut kemerdekaan karena penjajahan
bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan (alinea I).Secara eksplisit founding
fathers menyatakan bahwa kemerdekaan dapat diraih karena rahmat Allah dan
adanya keinginan luhur bangsa (alinea III).Ada perpaduan antara nilai ilahiah
dan nilai humanitas yang saling berkelindan. Selanjutnya, di dalam membangun
negara ke depan diperlukan dasar-dasar nilai yang bersifat universal, yaitu
nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Moralitas, saat ini menjadi
barang yang sangat mahal karena semakin langka orang yang masih betul-betul
memegang moralitas tersebut.Namun dapat juga dikatakan sebagai barang murah
karena banyak orang menggadaikan moralitas hanya dengan beberapa lembar
uang.Ada keterputusan (missing link) antara alinea I, II, III dengan
alinea IV.Nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar sekaligus tujuan negara ini
telah digadaikan dengan nafsu berkuasa dan kemewahan harta.
Egoisme telah mengalahkan
solidaritas dan kepedulian pada sesama.Lalu bagaimana membangun kesadaran moral
anti korupsi berdasarkan Pancasila?Korupsi secara harafiah diartikan sebagai
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian (Tim Penulis Buku Pendidikan anti korupsi, 2011:
23).Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin menunjukkan ekskalasi yang
begitu tinggi.Oleh karenanya, penyelesaian korupsi harus diselesaikan melalui
beragam cara/pendekatan, yang dalam hal ini saya menggunakan istilah pendekatan
eksternal maupun internal.
Pendekatan eksternal yang
dimaksud adalah adanya unsur dari luar diri manusia yang memiliki kekuatan
‘memaksa’ orang untuk tidak korupsi.
Kekuatan eksternal tersebut misalnya hukum, budaya dan watak masyarakat. Dengan
penegakan hukum yang kuat, baik dari aspek peraturan maupun aparat penegak
hokum, akan mengeliminir terjadinya korupsi. Demikian pula terciptanya budaya
dan watak masyarakat yang anti korupsi juga menjadikan seseorang enggan untuk
melakukan korupsi.Adapun kekuatan internal adalah kekuatan yang muncul dari
dalam diri individu dan mendapat penguatan melalui pendidikan dan
pembiasaan.Pendidikan yang kuat terutama dari keluarga sangat penting untuk
menanamkan jiwa anti korupsi, diperkuat dengan pendidikan formal di sekolah
maupun non-formal di luar sekolah.
Maksud dari membangun
kesadaran moral anti korupsi berdasar Pancasila adalah membangun mentalitas
melalui penguatan eksternal dan internal tersebut dalam diri masyarakat.Di
perguruan tinggi penguatan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan
kepribadian termasuk di dalamnya pendidikan Pancasila.Melihat realitas di kelas
bahwa mata kuliah Pendidikan Pancasila sering dikenal sebagai mata kuliah yang
membosankan, maka dua hal pokok yang harus dibenahi adalah materi dan metode
pembelajaran.Materi harus selalu up to date dan metode pembelajaran juga
harus inovatif menggunakan metode-metode pembelajaran yang
dikembangkan.Pembelajaran tidak hanya kognitif, namun harus menyentuh aspek
afektif dan konatif.
Nilai-nilai Pancasila
apabila betul-betul dipahami, dihayati dan diamalkan tentu mampu menurunkan
angka korupsi. Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila
bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai makhluk Tuhan, tentu tidak akan
mudah menjatuhkan martabat dirinya ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi.
Perbuatan korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri dan ketidakmampuan
untuk menahan diri melakukan kejahatan.Kebahagiaan material dianggap
segala-galanya disbanding kebahagiaan spiritual yang lebih agung, mendalam dan
jangka panjang.Keinginan mendapatkan kekayaan dan kedudukan secara cepat
menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan. Kesadaran manusia akan nilai
ketuhanan ini, secara eksistensial akan menempatkan manusia pada posisi yang
sangat tinggi. Hal ini dapat dijelaskan melalui hirarki eksistensial manusia,
yaitu dari tingkatan yang paling rendah, penghambaan terhadap harta (hal yang
bersifat material), lebih tinggi lagi adalah penghambaan terhadap manusia, dan
yang paling tinggi adalah penghambaan pada Tuhan. Manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna tentu tidak akan merendahkan dirinya
diperhamba oleh harta, namun akan menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan. Buah
dari pemahaman dan penghayatan nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk diatur
Tuhan, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya.
Penanaman satu nilai
tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam konteks Pancasila, karena
nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar
manakala keseluruhan nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan dijadikan landasan moril dan
diejawantahkan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam
pemberantasan korupsi. Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling
efektif adalah melalui pendidikan dan media.Pendidikan informal di keluarga
harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung oleh pendidikan formal di
sekolah dan nonformal di masyarakat.Peran media juga sangat penting karena
memiliki daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat.Media
harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat
yang maju namun tetap berkepribadian Indonesia.
C. Etika Politik Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Sesuai dengan Tap. MPR No.VI/MPR/2001 dinyatakan pengertian
dari etika kehidupan berbangsa adalah
rumusan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal dan bilai-nilai
budaya bangsa yang terjamin dalam Pancasila sebagai acuan dalam berpikir,
bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Pola
berpikir untuk membangun kehidupan berpolitik secara jernih mutlak diperlukan .
pembangunan moral politik yang berbudaya adalah untuk melahirkan kultur politik
yang berdasarkan kepada Iman dan Takwa terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa,
menggalang suasana kasih sayang sesama manusia Indonesia, yang berbudi
kemanusiaan luhur, yang mengindahkan kaidah-kaidah musyawarah secara
kekuluargaan yang bersih dan jujur, dan menjalin asas pemerataan keadilan di
dalam menikmati dan menggunakan kekayaan negara. Membangun etika politik
berdasarkan Pancasila akan diterima baik oleh segenab golongan dalam
masyarakat.
Pembinaan
etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah urgen. Langkah
permulaan dimulai dengan membangun konstruksi berpikir dalam rangkan menata
kembali kultur politik bangsa Indonesia. Kita sebagai warga negara telah
memiliki hak-hak politik, pelaksanaan hak-hak politik dalam kehidupan bernegara
akan saling bersosialisasi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama warga
negara dalam pelbagai wadah, yaitu dalam wadah infra-struktur dan
supra-struktur.
Wadah
infrastruktur antaralain: mimbar bebas, ujut rasa, bicara secara lissan atau
tulisan, aktifitas organisasi partai politik atau lembaga sosial
kemasyarakatan, kampanye pemilihan umum, penghitungan suara dalam memilih
wakil di DPR atau pimpinan eksekutif.
Disamping wdah supra-struktur antara lain semua lembaga legislatif disemua
tingkat dan jajaraan eksekutif (mulai dari Presiden sampai ke RT/RW) dan semua
jajaran lembaga kekuasaan kehakiman (tingkat pusat sampai ke daerah-daerah).
Kesemua wadah tersebut telah diatur dengan perundang-undangan dengan sedemikian
rupa agar hak-hak politik terdapat berjalan sebagaimana mestinya.
Sudahkah kita sebagai warga negara telah berpodaman kepada
perundang-undang yang berlaku dalam menjalankan hak-hak politik kita itu.
Jawaban yang sesuai adalah hati nurani dan kejujuran batin, karena hukum
positif yang berlaku tidak menjamin bahwa
hak-hak politik warga negara telah dilaksanakan. Beberapa kasus dapat kita lihat, seperti
korupsi, pelanggaran pemilihan umum,
politik uang dalam merebut jabatan dan lain sebagainya hanya dapat
dirasakan tetapi sangatlah sulit untuk dibuktikan secara hukum, sehingga terjadi bermacam ketidakadilan. Oleh sebab
itu, semua pelanggaran dan kejahatan ini sangat sulit dibrantas melalui jalur
hukum, kecuali hanya etika berpolitik yang berasaskan nilai-nilai Pancasila
yang betul-betul ada keinginan dari setiap warga negara sebagai insan politik
mau mengalamankan dalam kehidupan riil dalam masyarakat.
Etika
politik lebih banyak bergerak dalam wilayah, dimana seseorang secara ikhlas dan
jujur melaksanakan hukum yang berlaku tanpa adanya rasa takut kepada sanksi
daripada hukum yang berlaku. Dalam demokrasi liberal, sering ditemukan apabila
seseorang kepala pemerintahan gagal melaksanakan tugasnya sesuai dengan
janjinya saat kampanye pemilihan umum, atau
dituduh terlibat korupsi yang
belum sampai dibuktikan di pengadilan, maka pemimpin itu mengundurkan diri. Ada
suatu pandangan dalam demokrasi liberal bahwa jabatan publik (Perdana Menteri,
anggota parlemen, hakim, pegawai birokrasi dan lain-lain) di anggap suci, mulia
dan terhormat dalam negara. Oleh sebab itu, setiap orang yang berkeinginan atau
sedang menduduki jabatan tersebut harus bersih dan jujur. Apabila ada tuduhan
masyarakat bahwa seseorang pejabat publik tidak bersih, maka hati nurani
pejabat tersebut langsung mengundurkan diri. Kasus di negara Malaysia tahun
1990an adalah suatu contoh dalam perkara ini, dimana Muhammad bin Muhammad
Tahib adalah Gubernur (Menteri Besar) Negara bagian Selangor dituduh melakukan
suatu pelanggaran hukum, namun beliau mengundurkan diri dari Gubernur dan
kemudian mempertangungjawabkan perbuatannya
secara hukum, ternyata tidak bersalah tetapi beliau rela tidak kembalai
ke jabatan semua.. Bagaimana dengan Indonesia, dimana ada diantara pejabat
publik yang dijatuhi hukuman penjara di pengadilan tingkat rendah belum juga bersedia untuk mengundurkan diri
atau banyak pejabat negara baik di DPR maupun eksekutif kurang memenuhi tata
tertib, seperti sering absen dan lain sebagainya. Inilah suatu contoh krisis
moral dan termasuk juga kepada krisis
etika politik.
Banyak
pengamatan yang dapat dilihat bahwa kerusakan kronis dalam selurh sistem
berbangsa dan bernegara pada awal masa
reformasi di mana suatu pandangan
jabatan yang diduduki sekedar bermakna kekuasan untuk meraih kepentingan
berupa status, politik dan uang. Kerusakan pola berfikir dan bertindak dari
para petinggi di negeri ini telah mencemaskan hati nurani rakyat banyak, sepeti
terbukti bersalah tak mau mundur, salah urus jalan terus,, jika ada kasus
dibawah tanggung jawabnya, selalu menyalahkan bawahan dan lain sebagainya.
Jabatan kekuasaan seakan-akan untuk diri sendiri bukan diabadikan kepada
rakyat. Perlulah kita menoinjau ulang kepemimpinan yang bagaimanakah yang
diperlukan dalam kehidupan bernegara kita. Belumada suatu bukti keberhasilan
kepeminpinan simbolik, feodalistik dan selebriti dapat menyelesaikan
permasalahan berbangsa dan bernegara.
Di samping itu
dengan perubahan UUD 1945 yang lebih memberdayakan politisi sipil juga harus
meningkatkan proses politik yang cantik dala seluruh kehidupan politik.
Misalnya politik yang berjalan tanpa premanisme dan kekerasan. Khsusnya dalam
pelaksaaan Pemilu oleh parati-parati politik, apakah pemilu betul-betul
terhindar dari korupsi, KKN, premanisme dan kekerasan politik, politik uang dan
cara-cara yang tidak halal lainnya. Inilah suatu ujian bagi partai politik yang
ikut pemilu apakah mampu melaksanan seluruh kegiatan politik yang penuh dengan
etika politik berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Pada
hekakatnya etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap,
tetapi melalui moralitas yang bersumber
dari hati nurani, rasa malu kepada masyarakat, rasa takut kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa . Adanya kemauan dan memiliki itikat baik dalam hidup bernegara,
dapat mengukur secara seimbang antara hak yang telah dimiliki dengan kewajiban
yang telah ditunaikan, tidak memiliki ambisius yang berlebihan dalam merebut
jabatan, namum membekali diri dengan kemampuan secara kompotitif yang terbuka
untuk menduduki suatu jabatan, tidak melakukan cara-cara yang terlarang,
seperti penipuan untuk memenangkan persaingan
politik. Dengan kata lain tidak menghalalkan segala macam cara untuk
mencapai suatu tujuan politik.
Dewan Kehormatan
Dalam
kehidupan politik Indonesia banyak suara-suara masyarakat untuk menuntut agar
dibentuknya dengan kehomatan dalam berbagai institusi kenegaraan dan
kemasyarakatan, dengan harapan etika politik dapat terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Berdasarkan Tap. MPR No. VI/MPR/2002 tentang rekomendasi atas
Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK. DPR harus
segera membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa anggota DPR yang kurang
disiplin.
Dalam Tap. MPR
VI/MPR/2002 ditegaskan: DPR perlu meningkatkan kinerja annggotanya dengan
landasan moral, etika dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dalam pasal
6 Tata tertib DPR mengenai Kode Etik DPR, diungkapkan, (1) anggota DPR
harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri secara fisik setiap rapat
yang menjadi kewajibannya. Ayat (2) menegaskan, ketidakhadiran anggota secara
fisik sebanyak tiga kali bertutur-turut dalam rapat sejenis, tanpa izin dari
pimpinan fraksi merupakan suatu pelanggaran kode etik.
Berbicara
tentang etika politik dalam kehidupan bernegara kita nampaknya lebih banyak
pengaruh subyektif. Banyak politisi melihat dan mencari kesalahan kelompok
politik pihak lain, mereka lupa apakah etika tersebut telah dilaksanakan pada
diri dan kelompok mereka sendiri.
Oleh sebab itu, terwujudnya etika politik dengan baik dalam kehidupan
bernegara sangat ditentukan oleh kejujuran dan keikhlasan hati nurani dari
masing-masing warga negara yang telah memiliki hak-hak politiknya untuk
melaksanakan norma-norma dan aturan-aturan berpolitik dalam negara.
Semenjak
terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman serius terhadap persatuan
bangsa dan kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal ini
tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santung dan
budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dala
kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan yang
disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam dan luar negeri. Faktor yang berasal dari dalam negeri,
antara lain:
(1)
masih lemahnya pengamalan agama dan munculnya pemahaman
ajaran agama yang kerilu dan sempit.
(3)
Tidak
berkembangannya pemahaman kemajemukan dalam kehidupan berbangsa,
(4)
terjadinya ketidak adilan ekonomi dalam kurun waktu yang
panjang sehingga munculnya perilaku ekonomi yang bertentang dengan moralitas
dan etika,
(5)
kurangnya keteladanan bersikap yang berperilaku sebagai
pemimpin bangsa.
Sedangkan faktor penyebab dari luar negeri adalah:
(a) pengaruh globalisasi yang luas dengan
persaingan bangsa yang semakin tajam.
(b)
Makin tingginya intensitas intervensi kekuatan global
dalam perumusan kebijaksanaan nasional..
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan
kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian,
sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat
diri sebagai warga bangsa. Dalam Tap. MPR No. VI/MPR/2002 diuraikan etika
kehidupan berbangsa adalah sebagai berikut:
1.
etika
sosial dan budaya
2.
etika
politik dan pemerintahan
3.
etika
ekonomi dan bisnis
4.
etika
penegakan hukum yang berkeadilan
5.
etika
keilmuan
6.
etika
lingkungan.
Dalam
uraian etika politik dan pemerintahan dinyatakan bahwa untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, efisian dan efektif serta menumbuhkan suasan politik
yang yang demokratis yang bercirikan
keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat,
menghargai perbedaa, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat
yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan
hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.
Etika
pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian
tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa
dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau doangap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.Etika ini diwujudkan dalam bentuk
sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak
berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan
kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpunji
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Syahrial, MA.,Pendidikan Pancasila Bagi Perguruan Tinggi, Jakarta: GI, 2012.
Adil, Ustad, The
Power of Belief, Jogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar