|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
Pancasila
(Pada Era Kemerdekaan)
|
|
|
|
Modul ini mengupas tentang Pancasila pada era Kemerdekaan.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program Studi
|
On Line
|
Kode MK
|
Disusun Oleh
|
|
|
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
02
|
A21325EL (B-404)
|
H.U.
ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
|
|
Modul
ini akan mengelaborasi tentang Pancasila pada era kemerdekaan.
|
Diharapkan mahasiswa
mengerti tentang Pancasila seutuhnya serta problematikanya
|
PANCASILA:
PADA ERA KEMERDEKAAN
Latar
Belakang
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Dr. Radjiman Wediodiningrat,
selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada
tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara)
Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan memutar kembali ingatan
para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk menggali
kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur
sejarah (Latif, 2011: 4).
Setelah sidang
pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang disebabkan
perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI terdiri
dari elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis
Kristen. Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar
Negara, namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik
antara Nasionalis netral agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati
Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi “tujuh kata”: “…dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” (Risalah Sidang BPUPKI, 1995; Anshari, 1981; Darmodihardjo,
1991). Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo
demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus
Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim sendiri
tidak ingin republic yang dibentuk ini merupakan negara berbasis agama tertentu
(Eleson dalam Surono dan Endah (ed.), 2010: 37).
Pada awal
kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai
kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan
negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak
digunakan Indonesia merdeka (Ali, 2009: 17). Inilah perjalanan The Founding
Fathers yang begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan
keadaan agar dapat melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan
masyarakat Indonesia.
A. Pancasila Era Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom
atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan
moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi
PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom
kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan
sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya. Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16
Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00
dini hari. Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta
dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan
Laksamana Tadashi Maeda
tepatnya di jalan Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh
Ir. Soekarno. Sukarni (dari
golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Kemudian teks
proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis
pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar
pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari
Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus
1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh
sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah
terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Pada tahun
1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi
ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang
dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan
Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka
memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat
sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan
Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta
yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu
benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral
agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis
Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar
negara.
B. Pancasila Era Orde Lama
Terdapat dua pandangan besar
terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit Presiden.
Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah
untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana
dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya
menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya
dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua
usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante (Anshari,
1981: 99). Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni
1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah
Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian
dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi
oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka
(Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran
konstituante;
2.
Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3. Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara. Sosialisasi terhadap
paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting bagi upaya
selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik.
Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai
satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik (manipol)
adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden
(Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN
(Ali, 2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil
perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh DPA
pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena
itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam
kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan
agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan
politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33).
Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama
menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan
di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu payung
besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan
antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih
“murni” dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme)
(Ali, 2009: 34). Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut
marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai
Presiden Indonesia, melalui sidang MPRS.
C. Pancasila Era Orde Baru
Setelah jatuhnya Ir. Soekarno
sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap
negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman
terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1
Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian
zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu,
Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar
semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang
sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan
(Setiardja, 1994: 5).
Pancasila
dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual.
Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968
Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan
membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak
tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti
digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada
tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun
1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara,
yaitu:
Satu : Ke-Tuhan-an
Yang Maha Esa
Dua :
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga :
Persatuan Indonesia
Empat :
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan
Lima :
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut
mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978 dengan
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara Negara
serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun
di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Nilai dan
norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut
meliputi 36 butir, yaitu:
- Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Percaya
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat-menghormati
dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang
berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
d. Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
- Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
a. Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b. Saling
mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan
sikap tenggang rasa dan teposeliro.
d. Tidak
semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani
membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
- Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan
persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta
tanah air dan bangsa.
d. Bangga
sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan
pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
- Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
a. Mengutamakan
kepentingan negara dan masyarakat.
b. Tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d. Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat kekeluargaan.
e. Dengan
itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan
sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g. Keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
h. Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
- Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
a. Mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
b. kekeluargaan
dan kegotong-royongan.
c. Bersikap
adil.
d. Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
e. Menghormati
hak-hak orang lain.
f. Suka
memberi pertolongan kepada orang lain.
g. Menjauhi
sikap pemerasan terhadap orang lain.
h. Tidak
bersifat boros.
i.
Tidak bergaya hidup mewah.
j.
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan
umum.
k. Suka
bekerja keras.
l.
Menghargai hasil karya orang lain.
m. Bersama-sama
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang
terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994 disarikan/dijabarkan
kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu:
Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir;
Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir;
dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan
peraturan perundangundangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat
diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi
kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan
konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik
Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang
dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37). Ketika itu, sebagian
golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan
bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat
dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru
27
Maret 1980. Intinya Orba tidak
akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist
ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu
membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun
warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru
menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas
Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai
pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan
semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia
pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer
mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter,
represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek
Pancasila. Meski demikian
kondisi ini bertahan sampai
dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed), 2010: 45).
Asas
Tunggal Pancasila
Dalam pidato kenegaraan di depan DPR-RI
tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Suharto mengemukakan gagasannya mengenai
penerapan asas tunggal Pancasila atas partai-partai politik. Sesungguhnya gagasan ini bukan gagasan baru karena
tahun 1966-67 sudah terdengar gagasan
untuk mengasastunggalkan partai-partai politik. Namun, tampaknya keadaan
belum memungkinkan. Tujuan menyeragamkan asas partai-partai politik adalah
untuk mengurangi seminimal mungkin potensi konflik idiologis yang terkandung
dalam partai-partai politik. Berbeda dengan gagasan Bung Karno dalam pidatonya
tanggal 1 Juni 1945, bahwa Sukarno mengharapkan agar Pancasila dijadikan dasar
filosofis negara Indonesia, tiap golongan hendaknya menerima anjuran filosofis
ini dengan catatan bahwa tiap golongan berhak memperjuangkan aspirasinya
masing-masing dalam mengisi kemerdekaan (Tim. LIP FISIP-UI. 1998. 39-40). Pola
seperti ini masih terlihat dalam UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya, dengan tidak adanya keharusan mencantumkan Pancasila sebagai
satu-satunya asas. Namun dengan adanya pidato Presiden Suharto tersebut ada
dorongan dengan menjadikan Pancasila
sebagai satu-satunya asas. Hal ini berarti pencantuman asas lain yang
sesuai dengan aspirasi, ciri khas dan karakteristik partai politik tidak
diperkenalkan lagi.
Akhirnya keinginan Presiden Suharto itu terpenuhi
dengan merubah UU No.3/1975 dengan UU No.3/1985. Dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan
bahwa pengertian asas meliputi juga pengertian “dasar”, “landasan”. “pedoman
pokok”, yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar partai politik. Perbedaan
partai hanya dalam bentuk program saja. Asas
tunggal Pancasila menurut Deliar Noer berarti mengingkari kebhinnekaan masyarakat yang memang berkembang menurut
keyakinan masing-masing. Keyakinan ini biasanya berumber dari agama atau dari
fahaman lain. Bahkan asas tunggal Pancasula cenderung kearah sistem partai tunggal, meskipun secara
formal ada tiga partai, tetapi secara terselubung sebenarnya hanya ada satu
partai.
D. Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya
sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam
kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan
tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai
gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat
sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang
politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul
fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah
dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu
berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran.
Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu
selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50). Dengan
seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya
memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya
makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas
dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif
dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran
budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi
kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda.
Dalam bidang ekonomi, terjadi
ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman
modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi
disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah hanya
tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas
politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk
berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional
yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa
ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan
Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum
dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR NomorXVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan
bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar
negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara
konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus
dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila
sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber
hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945”.
Semakin memudarnya Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat khawatir
berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004
Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor
integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak
signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan
menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51). Selain keadaan di atas,
juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian muncul
gejala Perda Syariah disejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan
melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang mempertanyakan arah gerakan
reformasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan.
Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium
Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31
Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun
2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi
nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian
Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan
tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres
Pancasila di Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan
Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di
Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi
nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”,
yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi, istilah “Empat Pilar
Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252) mengandung; 1) linguisticmistake
(kesalahan linguistik) atau dapat pula dikatakan kesalahan terminologi; 2)
ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris sebagaimana terkandung
dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu pengertian atau ide,
‘berbangsa dan bernegara’ itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar);
3)
kesalahan kategori (category
mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan
dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan, kebenaran
pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai
aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa: Penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga
setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal tersebut berkorelasi
bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam
kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh
seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga cukup
banyak lembaga pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian
sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan
dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa adalah Pasal 35
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan
bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila,
Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian
historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif kategoris
menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai
. Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal UUD 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, 1979, Pengembangan
Pancasila di Indonesia, Yayasan Idayu, Jakarta.
Ali, As’ad Said, 2009, Negara
Pancasila Jalan KemaslahatanBerbangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta.
Anshari, Endang Saifuddin,
1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara
Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959,
Pustaka-Perpustakaan Salman
ITB, Bandung. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, 1994,
Bahan Penataran P-4,
Pancasila/P-4, BP-7 Pusat, Jakarta.
Bahar, Safroedin, 1995, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 28 Mei 1945-22
Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Darmodihardjo, D, 1978, Orientasi
Singkat Pancasila, PT. Gita Karya, Jakarta.
Darmodihardjo, D dkk., 1991, Santiaji
Pancasila Edisi Revisi, Usaha Nasional, Surabaya.
Dodo, Surono dan Endah (ed.),
2010, Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya, PSP-Press,
Yogyakarta.
Hidayat, Arief, 2012, “Negara
Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum”, Makalah pada
Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal 31 Mei- 1 Juni 2012., 1978,
Tinjauan Pancasila: Dasar Filsafat Negara
Republik Indonesia, Carya Remadja, Bandung.
Kaelan, 2000, Pendidikan
Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
_____, 2012, Problem
Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Paradigma, Yogyakarta.
Latif, Yudi, 2011, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
MD, Moh. Mahfud, 2011,
“Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas
Indonesia”, Makalah pada Sarasehan Nasional 2011 di Universitas Gajah Mada
Yogyakarta tanggal 2-3 Mei 2011.
Notosusanto, Nugroho, 1981, Proses
Perumusan Pancasila Dasar Negara, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat
Pancasila Bagian II: Moral Pancasila, Universitas Diponegoro, Semarang.
Soekarno, 1989, Pancasila
dan Perdamaian Dunia, CV Haji Masagung, Jakarta.
Suwarno, 1993, Pancasila
Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Yamin, Muhammad, 1954, Proklamasi
dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan, Jakarta/Amsterdam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar