|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
|
|
|
|
Modul ini mengupas tentang Pancasila sebagai dasar-dasar negara.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program Studi
|
On Line
|
Kode MK
|
Disusun Oleh
|
|
|
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
03
|
A21325EL (B-404)
|
H.U.
ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
Mampu memahami sekaligus
menrapkan nilai-nilai Pancasila
|
Diharapkan dapat menerapkan
Pancasila sebagai dasar Negara dalam kehidupan sehari-hari.
|
PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Latar Belakang
Dasar negara Indonesia, dalam pengertian historisnya
merupakan hasil pergumulan pemikiran para pendiri negara (The Founding
Fathers) untuk menemukan landasan atau pijakan yang kokoh untuk di atasnya
didirikan negara
Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar negara itu
baru mengemuka pada masa persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), namun bahan-bahannya telah dipersiapkan sejak
awal pergerakan kebangsaan Indonesia. Latif (2002: 5) menyebutkan bahwa setidaknya
sejak dekade 1920-an pelbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai
usaha mensintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk
“blok historis” (blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.
BPUPKI yang selanjutnya disebut dalam bahasa Jepang
sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Persiapan Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan) dibentuk pada 29 April 1945 sebagai realisasi janji
kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945 dari pemerintah Jepang. Anggota
BPUPKI berjumlah 63 orang, termasuk Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat sebagai
ketua, Itibangase Yosio (anggota luar biasa yang berkebangsaan Jepang) dan R.
Pandji Soeroso (merangkap Tata Usaha) masing-masing sebagai wakil ketua
Pembicaraan mengenai rumusan dasar negara Indonesia melalui sidang-sidang
BPUPKI berlangsung dalam dua babak, yaitu: pertama, mulai 29 Mei sampai 1 Juni
1945; dan kedua, mulai 10 Juli sampai 17 Juli 1945.
Pergumulan pemikiran dalam sejarah perumusan dasar
negara Indonesia bermula dari permintaan Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat,
selaku Ketua BPUPKI pada 29 Mei 1945 kepada anggota sidang untuk mengemukakan
dasar (negara) Indonesia merdeka. Untuk merespon permintaan Ketua BPUPKI, maka
dalam masa siding pertama, yaitu 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Muhammad Yamin dan
Soekarno mengajukan usul berhubungan dengan dasar negara. Soepomo juga
menyampaikan pandangannya dalam masa sidang ini namun hal yang dibicarakan
terkait aliran atau paham kenegaraan, bukan mengenai dasar Negara.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut dasar
negara dengan menggunakan bahasa Belanda, philosophische grondslag bagi
Indonesia merdeka.
Philosophische grondslag itulah fundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalamdalamnya
untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut
dasar negara dengan istilah ‘weltanschauung’ atau pandangan hidup
(Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), 1995: 63, 69,
81, dan RM. A.B. Kusuma, 2004: 117, 121, 128-129).
Susunan nilai atau prinsip yang menjadi fundamen atau
dasar negara pada masa sidang pertama BPUPKI tersebut berbeda-beda. Usul
Soekarno mengenai dasar negara yang disampaikan dalam pidato 1 Juni 1945
terdiri atas lima dasar. Menurut Ismaun, sebagaimana dikutip oleh Bakry (2010:
31), setelah mendapatkan masukan dari seorang ahli bahasa, yaitu Muhammad Yamin
yang pada waktu persidangan duduk di samping Soekarno, lima dasar tersebut
dinamakan oleh Soekarno sebagai ‘Pancasila’.
Untuk menampung usulan-usulan yang bersifat perorangan,
dibentuklah panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno dan dikenal sebagai
‘Panitia Sembilan’. Dari
rumusan usulan-usulan itu, Panitia Sembilan berhasil
merumuskan Rancangan Mukadimah (Pembukaan) Hukum Dasar yang dinamakan ‘Piagam
Jakarta’ atau Jakarta Charter oleh Muhammad Yamin pada 22 Juni 1945
Rumusan dasar negara yang secara sistematik tercantum
dalam alinea keempat, bagian terakhir pada rancangan Mukadimah tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sidang BPUPKI kedua, yaitu 10 Juli sampai 17 Juli
1945 merupakan masa penentuan dasar negara Indonesia merdeka. Selain menerima
Piagam Jakarta sebagai hasil rumusan Panitia Sembilan, dalam masa sidang BPUPKI
kedua juga dibentuk panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga
kelompok Panitia Perancang Hukum Dasar. Sidang lengkap BPUPKI pada 14 Juli 1945
mengesahkan naskah rumusan Panitia Sembilan berupa Piagam Jakarta sebagai
Rancangan Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan menerima seluruh Rancangan Hukum
Dasar (RHD) pada hari berikutnya, yaitu 16 Agustus 1945 yang sudah selesai
dirumuskan dan di dalamnya termuat Piagam Jakarta sebagai Mukadimah.
Setelah sidang BPUPKI berakhir pada 17 Juli 1945,
maka pada 9 Agustus 1945 badan tersebut dibubarkan oleh pemerintah Jepang dan
dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu
Zyunbi Inkai yang kemudian dikenal sebagai ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dengan mengangkat Soekarno sebagai ketua dan Moh. Hatta sebagai
wakil ketua. Panitia ini memiliki peranan yang sangat penting bagi pengesahan
dasar negara dan berdirinya negara Indonesia yang merdeka. Panitia yang semula
dikenal sebagai ‘Buatan Jepang’ untuk menerima “hadiah” kemerdekaan dari Jepang
tersebut, setelah takluknya Jepang di bawah tentara Sekutu pada 14 Agustus 1945
dan proklamasi kemerdekaan negara Indonesia, berubah sifat menjadi ‘Badan
Nasional’ Indonesia yang merupakan jelmaan seluruh bangsa Indonesia.
Dalam sidang pertama PPKI, yaitu pada 18 Agustus
1945, berhasil disahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI)
yang disertai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sebelum pengesahan, terlebih dahulu dilakukan perubahan atas Piagam Jakarta
atau Rancangan Mukadimah Hukum Dasar
(RMHD) dan Rancangan Hukum Dasar (RHD). Pengesahan dan penetapan setelah
dilakukan perubahan atas Piagam Jakarta tersebut tetap mencantumkan lima dasar
yang diberi nama Pancasila. Atas prakarsa Moh, Hatta, sila ‘Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, dalam Piagam
Jakarta sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tersebut diubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dengan demikian, Pancasila
menurut Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sesuai
dengan jiwa bangsa Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Soekarno (1960: 42)
bahwa dalam mengadakan Negara Indonesia merdeka itu “harus dapat meletakkan
negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di
dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana
kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.” Selanjutnya Soekarno
menegaskan dengan berkata, “Saya beri uraian itu tadi agar saudarasaudara
mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kitamemerlukan satu dasar yang bisa
menjadi dasar statis dan
yang bisa menjadi leitstar dinamis. Leitstar adalah
istilah dari bahasa Jerman yang berarti ‘bintang pimpinan’. Lebih lanjut,
Soekarno mengatakan, “Kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat
mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu leitstar dinamis yang dapat
menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalamdalamnya di dalam jiwa
masyarakat kita sendiri…Kalau kita mau memasukkan elemen-elemen yang tidak ada
di dalam jiwa Indonesia, tidak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.”
A.
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara
Dasar artinya landasan atau fundasi. Jika kita melihat orang membuat
bangunan rumah yang pertama dibuat adalah fundasi. Fundasi itu berasal dari
batu kali, besi cakar ayam dan adukan semen dengan pasir. Tujuannya agar kuat
dan kokoh sehingga dapat menahan bangunan yang berada di atasnya. Dasar negara
adalah suatu fundasi yang terdiri dari
unsur yang kuat dan kokoh untuk mendirikan suatu negara sehingga negara
nantinya tidak runtuh dan bubar. Bagi kita dasar negara kita adalah Pancasila yang telah terbukti
mampu menjaga dan menahan negara kita tidak runtuh dan bubar.
1.
Pancasila sebagai ideologi terbuka
Ideologi adalah gabungan
dari dua kata majemuk idea dan logos, yang berasal dari bahasa Yunani eidos dan logos. Secara sederhana artinya
suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran yang sedalam-dalamnya dan merupakan
pemikiran filsafat. Dalam arti kata luas adalah
keseluruhan cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang
mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.
Dalam arti ini ideologi disebut terbuka. Dalam arti sempit ideolgi
adalah gagasan dan teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai
yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan
mutlak bagaimana manusia harus hidup dan
bertintak.
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dapat
diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita
mengenai sejarah, manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang
bersumber dari kebudayaan Indonesia. Pancasila
sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu
cara berpikir dan cara kerja perjuangan.
Ciri khas ideolgi terbuka adalah nilai-nilai dan
cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari
kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri. Dasarnya dari konsensus
(kesepakatan) masyarakat, tidak diciptakan oleh negara, melainkan ditemukan
dalam masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari
semua rakyat, masyarakat dapat menemukan dirinya di dalamnya. Ideologi terbuka
bukan hanya dapat dibenarkan melahirkan dibutuhkan. Nilai-nilai dasar menurut
pandangan negara modern bahwa negara modern hidup dari nilai-nilai dan
sikap-sikap dasarnya.
Ideologi terbuka adalah
ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya dinamika
secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu, sebenarnya terdapat
dalam penjelasan umum UUD 1945, yang menyatakan, “… Terutama bagi negara baru
dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat
aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok
itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya,
mengubahnya dan mengcabutnya.”
Selanjutnya dinyatakan, “… Yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara ialah semangat, semangat para
penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.”
Suatu ideologi yang wajar ialah bersumber atau berakar
pada pandangan hidup bangsa dan falsafah hidup bangsa. Dengan demikian,
ideologi tersebut akan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan kecerdasan kehidupan bangsa. Hal ini adalah suatu prasyarat bagi suatu
ideologi. Berbeda halnya dengan ideologi yang diimpor (dari luar negara), yang
akan bersifat tidak wajar dan sedikit banyak memerlukan pemaksaan oleh kelompok
kecil manusia yang mengimpor ideologi tersebut. Dengan demikian, ideologi
tersebut bersifat tertutup. Kenyataan ini telah terjadi dalam ideologi komunis
yang diimpor ke berbagai negara, sehingga ideology ini tidak dapat bertahan
lama, terbukti bubarnya negara Uni Soviet yang paling ekstrim melaksanakan
komunisme.
Pancasila berkar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah
bangsa, sehingga memenuhi prasyarat suatu ideologi terbuka. Sekalipun ideologi
ini bersifat terbuka, tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa
sehingga dapat memusnahkan atau meniadakan ieologi itu sendiri, hal mana
merupakan suatu yang tidak logis atau nalar. Suatu ideologi sebagai rangkuman
gagasan-gagasan dasar yang terpadu dan bulat tanpa kontradisi atau saling
bertentangan dalam aspek-aspeknya, pada hakikatnya berupa suatu tata nilai, di
mana nilai dapat kita rumuskan sebagai hal ihwal buruk baiknya sesuatu, yang
dalam hal ini ialah apa yang dicita-citakan.
Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
Faktor yang mendorong keterbukaan ideology Pancasila
adalah sebagai berikut:
- Kenyataan dalam proses pembanguan nasional dan dinamika msyarakat
yang berkembang secara cepat.
- Kenyataan menunjukkan bahwa bangkrutnya ideology yang terutup dan
beku cenderung meredupkan perkembangan dirinya, seperti bagaimana
komunisme ditinggalkan oleh sebagai besar negara-negara Eropa Timur dan
Rusia.
- Pengalaman sejarah politik masa lampau, seperti dominasi pemerintah
Orde Baru untuk melaksanakan penataran Pedoman Penghayatan Pengalaman
Pancasila (P4), yang mana materi penataran P4 itu sesuatu yang dirumuskan
oleh kemauan pemerintah, bukan atas keinginan dari segenab komponen
masyarakat Indonesia, sehingga hasilnya jauh dari harapan yang diinginkan.
- Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila
yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis
dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Keterbukaan
ideology Pancasila ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola piker yang
dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai,
yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana
mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai dengan keadaan, dan nilai
praksis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai
Pancasila dijabarkan dalam norma-norma dasar Pancasila yang terkandung dan
tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai
atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak
boleh berubah atau diubah, karena itu adalah pilihan dan hasil kesepakatan
(consensus) bangsa. Perwujudan dan pelaksanaan nilai-nilai instrumental adalah
pasal-pasal dari UUD 1945 yang dapat mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan
jaman, seperti yang telah dilaksanakan oleh MPR dengan melakukan amandemen UUD
1945 di era reformasi ini. Contoh dari perubahan instrumental itu adalah
pemilihan Presiden yang berubah dari MPR kepada rakyat yang langsung memilih.
Sedangkan nilai-nilai praksis tercermin dan undang-undang, peraturan pemerintah
dan seterusnya yang berhubungan dengan kenyataan kehidupan dalam masyarakat.
Baik nilai-nilai instrumental maupun nilai praksis harus tetap mengandung jiwa
dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya, yaitu Pancasila atau Pembukaan
UUD 1945.
2.
Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila
Sekalipun Pancasila
memiliki sifat keterbukaan, namun ada batas-batas keterbukaan itu yang tidak
boleh di langgar, yaitu sebagai berikut:
- stabilitas
nasional yang dinamis,
- larangan terhadap ideology marxisme, Lenninisme dan komunisme.
- Mencegah
berkembangnya paham liber.
- Larangan terhadap pandangan ekstrim yang mengelisahkan kehidupan
bermasyarakat.
- Penciptaan
norma-norma baru harus melalui consensus.
B. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI)
Tahun 1945
Berdasarkan ajaran Stuffen theory dari Hans
Kelsen, menurut Abdullah (1984: 71), hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar yang berbentuk piramidal di atas menunjukkan
Pancasila sebagai suatu cita-cita hukum yang berada di puncak segi tiga.
Pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain,
gambar piramidal tersebut mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah cerminan
dari jiwa dan cita-cita hokum bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai cerminan dari jiwa dan cita-cita
hukum bangsa Indonesia tersebut merupakan norma dasar dalam penyelenggaraan
bernegara dan yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai
cita hukum (recht-idee), baik tertulis maupun tidak tertulis
diIndonesia. Cita hukum inilah yang mengarahkan hokum pada cita-cita bersama
bangsa Indonesia. Cita-cita ini secara langsung merupakan cerminan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga bangsa. Dalam pengertian
yang bersifat yuridis kenegaraan, Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara
tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas
menyatakan, “...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Sesuai dengan tempat keberadaan Pancasila yaitu pada
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara
pada hakikatnya adalah sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum
di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo.
Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978). Hal ini mengandung konsekuensi yuridis, yaitu
bahwa seluruh peraturan perundangundangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR,
Undangundang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan-peraturan
Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik
Indonesia) harus sejiwa dan sejalan dengan Pancasila. Dengan kata lain, isi dan
tujuan Peraturan Perundang-undangan RI tidak boleh menyimpang dari jiwa
Pancasila.
Berdasarkan penjelasan di atas, hubungan Pancasila
dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dipahami sebagai hubungan yang
bersifat formal dan material. Hubungan secara formal, seperti dijelaskan oleh
Kaelan (2000: 90-91), menunjuk pada tercantumnya Pancasila secara formal di
dalam Pembukaan yang mengandung pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak
hanya bertopang pada asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam
perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan
asas-asas kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsur-unsurnya
terdapat dalam Pancasila. Dalam hubungan yang bersifat formal antara Pancasila
dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat ditegaskan bahwa rumusan Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea keempat. Menurut
Kaelan (2000: 91), Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan Pokok Kaidah Negara
yang Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua
macam kedudukan, yaitu: 1) sebagai dasarnya, karena
Pembukaan itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum
Indonesia; 2) memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib
hukum tertinggi.
Pembukaan yang berintikan Pancasila merupakan sumber
bagi batang tubuh UUD NRI tahun 1945. Hal ini disebabkan karena kedudukan hukum
Pembukaan berbeda dengan pasal-pasal atau batang tubuh UUD NRI tahun 1945,
yaitu bahwa selain sebagai Mukadimah, Pembukaan UUD NRI tahun 1945 mempunyai
kedudukan atau eksistensi sendiri. Akibat hukum dari kedudukan Pembukaan ini
adalah memperkuat kedudukan Pancasila sebagai norma dasar hukum tertinggi yang
tidak dapat diubah dengan jalan hukum dan melekat pada kelangsungan hidup
Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut, Kaelan (2000: 91-92) menyatakan bahwa
Pancasila adalah substansi esensial yang mendapatkan kedudukan formal yuridis
dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Oleh karena itu, rumusan dan yuridiksi
Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD
NRI tahun 1945. Perumusan Pancasila yang menyimpang dari Pembukaan secara jelas
merupakan perubahan secara tidak sah atas Pembukaan UUD NRI tahun 1945.
Adapun hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI
tahun 1945 secara material adalah menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan
yang tidak lain adalah Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan UUD
NRI tahun 1945 yang demikian itulah maka Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat
disebut sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, sebagaimana dinyatakan
oleh Notonagoro (tt.: 40), esensi atau inti sari Pokok Kaidah Negara yang
Fundamental secara material tidak lain adalah Pancasila.
Menurut pandangan Kaelan (2000: 92), bilamana proses
perumusan Pancasila dan Pembukaan ditinjau kembali maka secara kronologis
materi yang dibahas oleh BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat
Pancasila, baru kemudian Pembukaan. Setelah sidang pertama selesai, BPUPKI
membicarakan Dasar Filsafat Negara Pancasila dan berikutnya tersusunlah Piagam
Jakarta yang disusun oleh Panitia Sembilan yang merupakan wujud pertama
Pembukaan UUD NRI tahun 1945.
Dalam tertib hukum Indonesia diadakan pembagian yang
hirarkis. Undang-Undang Dasar bukanlah peraturan hukum yang tertinggi. Di
atasnya masih ada dasar pokok bagi Undang-Undang Dasar, yaitu Pembukaan sebagai
Pokok Kaidah Negara yang Fundamental yang di dalamnya termuat materi Pancasila.
Walaupun Undang-Undang Dasar itu merupakan hukum dasar Negara Indonesia yang
tertulis atau konstitusi, namun kedudukannya bukanlah sebagai landasan hukum
yang terpokok.
Menurut teori dan keadaan, sebagaimana ditunjukkan
oleh Bakry (2010: 222), Pokok Kaidah Negara yang Fundamental dapat tertulis dan
juga tidak tertulis. Pokok Kaidah yang tertulis mengandung kelemahan, yaitu
sebagai hukum positif, dengan kekuasaan yang ada dapat diubah walaupun
sebenarnya tidak sah. Walaupun demikian, Pokok Kaidah yang tertulis juga
memiliki kekuatan, yaitu memiliki formulasi yang tegas dan sebagai hukum
positif mempunyai sifat imperatif yang dapat dipaksakan.
Pokok Kaidah yang tertulis bagi negara Indonesia pada
saat ini diharapkan tetap berupa Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Pembukaan UUD
NRI tahun 1945 tidak dapat diubah karena menurut Bakry (2010: 222), fakta sejarah
yang terjadi hanya satu kali tidak dapat diubah. Pembukaan UUD NRI tahun 1945
dapat juga tidak digunakan sebagai Pokok Kaidah tertulis yang dapat diubah oleh
kekuasaan yang ada, sebagaimana perubahan ketatanegaraan yang pernah terjadi
saat berlakunya Mukadimah Konstitusi RIS 1949 dan Mukadimah UUDS 1950.
Sementara itu, Pokok Kaidah yang tidak tertulis
memiliki kelemahan, yaitu karena tidak tertulis maka formulasinya tidak
tertentu dan tidak jelas sehingga mudah tidak diketahui atau tidak diingat.
Walaupun demikian, Pokok Kaidah yang tidak tertulis juga memiliki kekuatan,
yaitu tidak dapat diubah dan dihilangkan oleh kekuasaan karena bersifat
imperatif moral dan terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia (Bakry, 2010: 223).
Pokok Kaidah yang tidak tertulis mencakup hokum
Tuhan, hukum kodrat, dan hukum etis. Pokok Kaidah yang tidak tertulis adalah
fundamen moral negara, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. H. Syahrial, MA. Pendidikan Pancasila Bagi Perguruan
Tinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar