|
|
|
MODUL PERKULIAHAN
|
|
|
|
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
|
|
|
|
Modul ini mengupas tentang Pancasila sebagai Ideologi negara.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fakultas
|
Program Studi
|
On Line
|
Kode MK
|
Disusun Oleh
|
|
|
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
|
Manajemen
|
04
|
A21325EL (B-404)
|
H.U.
ADIL SAMADANI, SS., SHI., MH.
|
|
Abstract
|
Kompetensi
|
Mampu memahami sekaligus
menrapkan nilai-nilai Pancasila
|
Diharapkan dapat menerapkan
Pancasila sebagai Ideologi Negara dalam kehidupan sehari-hari.
|
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
Latar Belakang
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
BANGSA DAN NEGARA
a. Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Pancasila sebagai
ideologi bangsa adalah pancasila sebagai cita-cita negara atau cita-cita yang
menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan
bangsa Indonesia
Berdasarkan Tap.
MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan ketetapan MPR tentang P4. Ditegaskan
bahwa pancasila adalah dasar NKRI yang harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Pancasila sebagai ideologi negara.
Pengertian
ideologi-ideologi berasal dari bahasa yunani yaitu iden yang berarti melihat,
atau idea yang berarti raut muka, perawakan, gagasan buah pikiran dan kata logi
yang berarti ajaran, dengan demikian ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang
gagasan dan buah pikiran atau science des ideas (Al marsudi, 2001: 57)[1][3].
Puspowardoyo
(1992) menyebutkan bahwa ideologi dapat di rumuskan sebagai kompleks
pengetahuan dan nilai secara keseluruhan menjadi landasan seseorang atau
masyarakat untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya, serta menentukan sikap
dasar untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya seseorang dapat
menangkap apa yang dilihat benar dan tidak benar serta apa yang dinilai baik
dan tidak baik.
Menurut pendapat
Harol H.Titus defenisi dari ideologi adalah suatu istilah yang digunakan untuk
sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik ekonomi filsafat
sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang suatu
cita-cita yang dijalankan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat.
1. Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut
:
a.
Mempunyai derajat yang
tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan
b. Mewujudkan suatu asaz kerohanian, pandangan-pandangan
hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan, dilestarikan kepada generasi
berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
2. Fungsi ideologi menurut pakar dibidangnya
:
a.
Sebagai sarana untuk memformulasikan
dan mengisi kehidupan manusia secara individual (cahyono,1986).
b.
Sebagai jembatan pergeseran
kendali kekuasaan dari generasi tua dengan generasi muda, (setiardja,2001).
c.
Sebagai kekuatan yang mampu
memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat,dan bangsa untuk menjalani
kehidupan dalam mencapai tujuan. (hidayat,2001).
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA DAN TERTUTUP
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai
suatu sistem pemikiran terbuka.
a.
Ideologi Terbuka
1. Merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam
masyarakat
2. Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang
berasal dari dalam masyarakat sendiri.
3. Hasil musyawarah dan konsesus masyarakat.
4. Bersifat dinamis dan reformasi.
b. Ideologi Tertutup
1. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup
dalam masyarakat,
2. Bukan berupa nilai dan cita-cita
3. Kepercayaan dan kesetian ideologis yang
kaku
4. Terdiri atas tuntutan kongkrit dan
operational yang diajukan secara mutlak
Menurut kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam
ideologi pancasila sebagai ideologi terbuka:
1. Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila
pancasila
2. Nilai instrumental, yang merupakan arahan,
kebijakan strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya
3. Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi
nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengalaman yang bersipat nyata,
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,berbangsa dan bernegara.[3]
A.
Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945
Pembukaan UUD NRI tahun 1945 mengandung pokok-pokok
pikiran yang meliputi suasana kebatinan, citacita hukum dan cita-cita moral
bangsa Indonesia.
Pokokpokok
pikiran tersebut mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa
Indonesia karena bersumber dari pandangan hidup dan dasar negara, yaitu
Pancasila.
Pokok-pokok pikiran yang bersumber dari Pancasila
itulah yang dijabarkan ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI tahun
1945.
Hubungan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang memuat
Pancasila dengan batang tubuh UUD NRI tahun 1945 bersifat kausal dan organis.
Hubungan kausal mengandung pengertian Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan
penyebab keberadaan batang tubuh UUD NRI tahun 1945, sedangkan hubungan organis
berarti Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI tahun 1945 merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Dengan dijabarkannya pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD
NRI tahun 1945 yang bersumber dari Pancasila ke dalam batang tubuh, maka
Pancasila tidak saja merupakan suatu cita-cita hukum, tetapi telah menjadi
hukum positif. Sesuai dengan Penjelasan UUD NRI tahun 1945,
Pembukaan mengandung empat pokok pikiran yang
diciptakan dan dijelaskan dalam batang tubuh. Keempat pokok pikiran tersebut
adalah sebagai berikut. 1) Pokok pikiran pertama berintikan ‘Persatuan’, yaitu;
“negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
2) Pokok pikiran kedua berintikan ‘Keadilan sosial’,
yaitu; “negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
3) Pokok pikiran ketiga berintikan ‘Kedaulatan
rakyat’, yaitu; “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan”.
4) Pokok pikiran keempat berintikan ‘Ketuhanan Yang
Maha Esa’, yaitu; “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab’.
Pokok pikiran pertama menegaskan bahwa aliran
pengertian negara persatuan diterima dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945, yaitu
negara yang melindungi bangsa Indonesia seluruhnya. Negara, menurut pokok
pikiran pertama ini, mengatasi paham golongan dan segala paham perorangan.
Demikian pentingnya pokok pikiran ini maka persatuan merupakan dasar negara
yang utama. Oleh karena itu, penyelenggara negara dan setiap warga Negara wajib
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau perorangan.
Pokok pikiran kedua merupakan causa finalis dalam
Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang menegaskan tujuan atau suatu cita-cita yang
hendak dicapai. Melalui pokok pikiran ini, dapat ditentukan jalan dan
aturan-aturan yang harus dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar sehingga tujuan
atau cita-cita dapat dicapai dengan berdasar kepada pokok pikiran pertama,
yaitu persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa pokok pikiran keadilan social
merupakan tujuan negara yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia Indonesia
mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pokok pikiran ketiga
mengandung konsekuensi logis yang menunjukkan bahwa sistem negara yang
terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan
permusyawaratan perwakilan.
Menurut Bakry (2010: 209), aliran ini sesuai dengan
sifat masyarakat Indonesia. Kedaulatan rakyat dalam pokok pikiran ini merupakan
sistem negara yang menegaskan kedaulatan sebagai berada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pokok pikiran keempat menuntut konsekuensi logis,
yaitu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran ini
juga mengandung pengertian taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran
kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung maksud menjunjung tinggi
hak asasi manusia yang luhur dan berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok
pikiran keempat Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan asas moral bangsa dan
negara (Bakry, 2010: 210).
MPR RI telah melakukan amandemen UUD NRI tahun 1945
sebanyak empat kali yang secara berturut-turut terjadi pada 19 Oktober 1999, 18
Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2002. Menurut Rindjin (2012:
245-246), keseluruhan batang tubuh UUD NRI tahun 1945 yang telah mengalami
amandemen dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, pasalpasal
yang terkait aturan pemerintahan negara dan kelembagaan negara; kedua, pasal-pasal
yang mengatur hubungan antara negara dan penduduknya yang meliputi warga
negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan kesejahteraan sosial; ketiga,
pasal-pasal yang berisi materi lain berupa aturan mengenai bendera negara,
bahasa negara, lambang negara, lagu kebangsaan, perubahan UUD, aturan
peralihan, dan aturan tambahan Berdasarkan hasil-hasil amandemen dan
pengelompokan keseluruhan batang tubuh UUD NRI tahun 1945, berikut disampaikan
beberapa contoh penjabara. Pancasila ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal
UUD NRI tahun 1945.
1. Sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara
a. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara
hukum.
Negara hukum yang dimaksud adalah Negara yang
menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak
ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Berdasarkan prinsip
negara hukum, penyelenggara negara tidak saja bertindak sesuai dengan hukum tertulis
dalam menjalankan tugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan, namun juga
bermuara pada upaya mencapai kesejahteraan umum, kecerdasan kehidupan bangsa,
dan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia.
b. Pasal 3 Ayat (1): Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan Undang- Undang Dasar; Ayat (2): Majelis
Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; Ayat (3):
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang- Undang Dasar.
Wewenang atau kekuasaan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), sebagaimana disebutkan pada Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) di
atas menunjukkan secara jelas bahwa MPR bukan merupakan penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia dan lembaga negara tertinggi. Ketentuan yang terkait dengan
wewenang atau kekuasaan MPR tersebut juga menunjukkan bahwa dalam
ketatanegaraan Indonesia dianut sistem horizontal-fungsional dengan prinsip
saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga negara.
2. Hubungan antara negara dan penduduknya yang
meliputi warga negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan kesejahteraan
sosial.
a. Pasal 26 Ayat (2): Penduduk ialah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Orang asing yang
menetap di wilayah Indonesia mempunyai status hukum sebagai penduduk Indonesia.
Sebagai penduduk, maka pada diri orang asing itu melekat hak dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan prinsip
yuridiksi teritorial) sekaligus tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hokum
internasional yang berlaku umum (general international law).
b. Pasal 27 Ayat (3): Setiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) tersebut
bermaksud untuk memperteguh konsep yang dianut bangsa dan Negara Indonesia di
bidang pembelaan negara, yaitu bahwa upaya pembelaan negara bukan monopoli TNI,
namun juga merupakan hak sekaligus kewajiban setiap warga negara.
c. Pasal 29 Ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 29 ayat (2) tersebut menunjukkan
bahwa negara menjamin salah satu hak manusia yang paling asasi, yaitu kebebasan
beragama. Kebebasan beragama bukanlah pemberian negara atau golongan tetapi
bersumber pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
d. Pasal 31 Ayat (2): Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
Ayat (3): Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pendidikan dasar
menjadi wajib dan bagi siapa pun yang tidak melaksanakan kewajibannya akan
dikenakan sanksi.
Sementara itu, pemerintah wajib membiayai kewajiban
setiap warga negara dalam mendapatkan pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap warga berpartisipasi dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa.
Ketentuan ini juga mengakomodasi nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang religius dan tujuan sistem pendidikan nasional,
yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
e. Pasal 33 Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan dan prinsip
perekonomian nasional dimaksudkan sebagai rambu-rambu yang sangat penting dalam
upaya mewujudkan demokrasi ekonomi di Indonesia. Dasar pertimbangan
kepentingannya tiada lain adalah seluruh sumber daya ekonomi nasional digunakan
sebaik-baiknya sesuai dengan paham demokrasi ekonomi yang mendatangkan manfaat
optimal bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia.
f. Pasal 34 Ayat (2): Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Dari ketentuan pasal 34 ayat (2) tersebut dapat
diperoleh pengertian bahwa sistem jaminan social merupakan bagian upaya
mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state)
sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
3. Materi lain berupa aturan bendera negara, bahasa
negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan
a. Pasal 35 Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah
Putih.
b. Pasal 36 Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
c. Pasal 36A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
d. Pasal 36B Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
Bendera, bahasa, lambang, dan lagu kebangsaan merupakan simbol yang
mempersatukan seluruh bangsa Indonesia di tengah perubahan dunia yang tidak
jarang berpotensi mengancam keutuhan dan kebersamaan sebuah negara dan bangsa,
tak terkecuali bangsa dan negara Indonesia (MPR RI, 2011: 187). Dalam
pengertian yang simbolik itu, bendera, bahasa, lambang, dan lagu kebangsaan
memiliki makna penting untuk menunjukkan identitas dan kedaulatan negara dan
bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional.
B.
Implementasi Pancasila Dalam Pembuatan Kebijakan Negara Dalam Bidang Politik,
Ekonomi, Sosial Budaya Dan Hankam
Pokok-pokok pikiran persatuan, keadilan sosial,
kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang terkandung dalam Pembukaan
UUD NRI tahun 1945 merupakan pancaran dari Pancasila. Empat pokok pikiran
tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan ke dalam
pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 mencakup empat aspek kehidupan bernegara, yaitu:
politik, ekonomi, social budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat menjadi
POLEKSOSBUD HANKAM. Aspek politik dituangkan dalam pasal 26, pasal 27 ayat (1),
dan pasal 28. Aspek ekonomi dituangkan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan
pasal 34.
Aspek sosial budaya dituangkan dalam pasal 29, pasal
31, dan pasal 32. Aspek pertahanan keamanan dituangkan dalam pasal 27 ayat (3)
dan pasal 30 (Bakry, 2010: 276).
Pasal 26 ayat (1) dengan tegas mengatur siapa-siapa
saja yang dapat menjadi warga negara Republik Indonesia. Selain orang
berkebangsaan Indonesia asli, orang berkebangsaan lain yang bertempat tinggal
di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada
Negara Republik Indonesia yang disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara
dapat juga menjadi warga negara Republik Indonesia. Pasal 26 ayat (2)
menyatakan bahwa penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia. Adapun pada pasal 29 ayat (3) dinyatakan bahwa
syarat-syarat menjadi warga negara dan penduduk Indonesia diatur dengan
undang-undang.
Pasal 27 ayat (1) menyatakan kesamaan kedudukan warga
negara di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Ketentuan
ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada
diskriminasi di antara warga negara baik mengenai haknya maupun mengenai
kewajibannya.
Pasal 28 menetapkan hak warga negara dan penduduk
untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya, yang diatur dengan undang-undang. Dalam ketentuan ini,
ditetapkan adanya tiga hak warga negara dan penduduk yang digabungkan menjadi
satu, yaitu: hak kebebasan berserikat, hak kebebasan berkumpul, dan hak
kebebasan untuk berpendapat.
Pasal 26, 27 ayat (1), dan 28 di atas adalah
penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat dan kemanusiaan yang adil
dan beradab yang masingmasing merupakan pancaran dari sila keempat dan kedua
Pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi kehidupan nasional
bidang politik di negara Republik Indonesia.
Berdasarkan penjabaran kedua pokok pikiran tersebut,
maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik harus berdasar pada
manusia yang merupakan subjek pendukung Pancasila, sebagaimana dikatakan oleh
Notonagoro (1975: 23) bahwa yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan,
berkerakyatan, dan berkeadilan adalah manusia. Manusia adalah subjek Negara dan
oleh karena itu politik negara harus berdasar dan merealisasikan harkat dan martabat
manusia di dalamnya. Hal ini dimaksudkan agar sistem politik negara dapat
menjamin hak-hak asasi manusia.
Dengan kata lain, pembuatan kebijakan negara dalam
bidang politik di Indonesia harus memperhatikan rakyat yang merupakan pemegang
kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula
kekuasaan dan oleh karena itu, politik Indonesia yang dijalankan adalah politik
yang bersumber dari rakyat, bukan dari kekuasaan perseorangan atau kelompok dan
golongan, sebagaimana ditunjukkan oleh Kaelan (2000: 238) bahwa sistem politik
di Indonesia bersumber pada penjelmaan hakikat manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial dalam wujud dan kedudukannya sebagai rakyat.
Selain itu, sistem politik yang dikembangkan adalah
sistem yang memperhatikan Pancasila sebagai dasar-dasar moral politik. Dalam
hal ini, kebijakan negara dalam bidang politik harus mewujudkan budi pekerti
kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 27 ayat (2) menyatakan
bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Ketentuan ini memancarkan asas kesejahteraan atau asas
keadilan sosial dan kerakyatan yang merupakan hak asasi manusia atas
penghidupan yang layak.
Pasal 33 ayat (1) menyatakan perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, sedangkan pada ayat (2)
ditetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan pada ayat (3)
ditegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ayat (1) pada pasal ini menunjukkan adanya hak asasi manusia atas usaha
perekonomian, sedangkan ayat (2) menetapkan adanya hak asasi manusia atas
kesejahteraan sosial.
Selanjutnya pada pasal 33 ayat (4) ditetapkan bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Sesuai dengan pernyataan ayat (5) pasal ini, maka
pelaksanaan seluruh ayat dalam pasal 33 diatur dalam undang-undang. Pasal 34
ayat (1) mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara.
Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Ketentuan dalam ayat (2) ini menegaskan adanya hak asasi manusia atas jaminan
sosial.
Adapun pada pasal 34 ayat (4) ditetapkan bahwa negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak. Pelaksanaan mengenai isi pasal ini, selanjutnya
diatur dalam undang-undang, sebagaimana dinyatakan pada ayat (5) pasal 34 ini.
Pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34 di atas
adalah penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat dan keadilan
sosial yang masing-masing merupakan pancaran dari sila keempat dan kelima
Pancasila. Keduapokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan sistem
ekonomi Pancasila dan kehidupan ekonomi nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut,
maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang ekonomi di Indonesia dimaksudkan
untuk menciptakan sistem perekonomian yang bertumpu pada kepentingan rakyat dan
berkeadilan. Salah satu pemikiran yang sesuai dengan maksud ini adalah gagasan
ekonomi kerakyatan yang dilontarkan oleh Mubyarto, sebagaimana dikutip oleh
Kaelan (2000: 239), yaitu pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar
pertumbuhan, melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa.
Dengan kata lain, pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai
moral kemanusiaan.
Dengan demikian, sistem perekonomian yang berdasar
pada Pancasila dan yang hendak dikembangkan dalam pembuatan kebijakan negara
bidang ekonomi di Indonesia harus terhindar dari sistem persaingan bebas,
monopoli dan lainnya yang berpotensi menimbulkan penderitaan rakyat dan
penindasan terhadap sesame manusia. Sebaliknya, sistem perekonomian yang dapat
dianggap paling sesuai dengan upaya mengimplementasikan Pancasila dalam bidang
ekonomi adalah sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi yang bertujuan
untuk mencapai kesejahteraan rakyat secara luas.
Pasal 29 ayat (1) menyatakan negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Penjelasan Undang- Undang Dasar, ayat (1) pasal
29 ini menegaskan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun dalam pasal 29 ayat (2) ditetapkan bahwa negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini jelas merupakan pernyataan tegas
tentang hak asasi manusia atas kemerdekaan beragama.
Pasal 31 ayat (1) menetapkan setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. Ketentuan ini menegaskan bahwa mendapat pendidikan
adalah hak asasi manusia.
Selanjutnya pada ayat (2) pasal ini dikemukakan bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib
membiayainya. Dari ayat (2) pasal ini diperoleh pemahaman bahwa untuk mengikuti
pendidikan dasar merupakan kewajiban asasi manusia. Sebagai upaya memenuhi
kewajiban asasi manusia itu, maka dalam ayat (3) pasal ini diatur bahwa
pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang. Demikian
pula, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka dalam ayat (4) pasal 31
ini ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari APBN (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara) serta dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam pasal 31 ayat (5)
ditetapkan pula bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pasal 32 ayat (1) menyatakan negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Ketentuan menegaskan mengembangkan nilai-nilai budaya merupakan hak asasi
manusia. Selanjutnya, ayat (2) pasal 32 menyatakan negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Pasal 29, pasal 31, dan pasal 32 di atas adalah
penjabaran dari pokok-pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, dan persatuan yang masing-masing merupakan pancaran dari sila
pertama, kedua, dan ketiga Pancasila. Ketiga pokok pikiran ini adalah landasan
bagi pembangunan bidang kehidupan keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan
nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut,
maka implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang
sosial budaya mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia harus diwujudkan dalam proses pembangunan
masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Menurut Koentowijoyo, sebagaimana
dikutip oleh Kaelan (2000: 240), sebagai kerangka kesadaran,
Pancasila dapat merupakan dorongan untuk: 1)
universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur; dan
2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, dan
kebebasan spiritual. Dengan demikian, Pancasila sebagai sumber nilai dapat
menjadi arah bagi kebijakan Negara dalam mengembangkan bidang kehidupan sosial
budaya Indonesia yang beradab, sesuai dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Selain itu, pengembangan sosial budaya harus
dilakukan dengan mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu
nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fungsi Pancasila
sebagai sebuah sistem etika yang keseluruhan nilainya bersumber dari harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Perbenturan kepentingan politik
dan konflik sosial yang pada gilirannya menghancurkan sendi-sendi kehidupan
bangsa Indonesia, seperti kebersamaan atau gotong royong dan sikap saling
menghargai terhadap perbedaan suku, agama, dan ras harus dapat diselesaikan
melalui kebijakan negara yang bersifat humanis dan beradab.
Pasal 27 ayat (3) menetapkan bahwa setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara. Dalam ketentuan ini,
hak dan kewajiban warga negara merupakan satu kesatuan, yaitu bahwa untuk turut
serta dalam bela negara pada satu sisi merupakan hak asasi manusia, namun pada
sisi lain merupakan kewajiban asasi manusia.
Pasal 30 ayat (1) menyatakan hak dan kewajiban setiap
warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Ketentuan
ini menunjukkan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara adalah hak dan
kewajiban asasi manusia. Pada ayat (2) pasal 30 ini dinyatakan bahwa usaha
pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan
pendukung. Selanjutnya pada ayat (3) pasal 30 ini juga dijelaskan bahwa Tentara
Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara. Dalam ayat (4) pasal 30 dinyatakan Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum. Ayat (5) pasal 30 menyatakan susunan dan kedudukan
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan
kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan
dan keamanan diatur dengan undang-undang. Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 di
atas adalah penjabaran dari pokok pikiran persatuan yang merupakan pancaran
dari sila pertama Pancasila. Pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan
bidang pertahanan keamanan nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok pikiran persatuan
tersebut, maka implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam
bidang pertahanan keamanan harus diawali dengan kesadaran bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Dengan demikian dan demi tegaknya hakhak warga negara,
diperlukan peraturan perundangundangan negara untuk mengatur ketertiban warga
Negara dan dalam rangka melindungi hak-hak warga negara. Dalam hal ini, segala
sesuatu yang terkait dengan bidang pertahanan keamanan harus diatur dengan
memperhatikan tujuan negara untuk melindungi segenap wilayah dan bangsa
Indonesia.
Pertahanan dan keamanan negara diatur dan
dikembangkan menurut dasar kemanusiaan, bukan kekuasaan. Dengan kata lain,
pertahanan dan keamanan Indonesia berbasis pada moralitas kemanusiaan sehingga
kebijakan yang terkait dengannya harus terhindar dari pelanggaran hak-hak asasi
manusia. Secara sistematis, pertahanan keamanan negara harus berdasar pada
tujuan tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa (Sila pertama dan kedua), berdasar pada tujuan untuk mewujudkan kepentingan
seluruh warga sebagai warga negara (Sila ketiga), harus mampu menjamin hak-hak
dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (Sila keempat), dan ditujukan
untuk terwujudnya keadilan dalam hidup masyarakat (Sila kelima). Semua ini
dimaksudkan agar pertahanan dan keamanan dapat ditempatkan dalam konteks Negara
hukum, yang menghindari kesewenang-wenangan Negara dalam melindungi dan membela
wilayah negara dan bangsa, serta dalam mengayomi masyarakat. Ketentuan mengenai
empat aspek kehidupan bernegara, sebagaimana tertuang ke dalam pasal-pasal UUD
NRI tahun 1945 tersebut adalah bentuk nyata dari implementasi Pancasila sebagai
paradigma pembangunan atau kerangka dasar yang mengarahkan pembuatan kebijakan
negara dalam pembangunan bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan di Indonesia. Berdasarkan kerangka dasar inilah, pembuatan kebijakan
negara ditujukan untuk mencapai cita-cita nasional kehidupan bernegara di
Indonesia.
REFERENSI
Dr. H. Syahrial, MA., Pendidikan Pancasila Bagi Perguruan
Tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar